Muslimah dalam Dakwah

“Kalian hendaklah senantiasa mendakwahkan kebenaran dan mencegah kemaksiatan, menghentikan orang-orang zalim dari kezalimannya, dan mengajak mereka kepada kebaikan. Jika tidak, hati kalian akan disatukan dengan hati mereka dan kalian akan dilaknat oleh Allah seperti Allah telah melaknat Bani Israil.” (al-Hadits)

Saudariku, suatu ketika Rasulullah Saw. bersabda kepada Abdullah bin Mas’ud, “Bacakan al-Quran kepadaku.”

Abdullah bin Mas’ud berkata, “Bagaimana aku membacakannya kepada Engkau, sementara al-Quran itu sendiri diturunkan kepadamu?”

“Aku ingin mendengarnya dari orang lain,” jawab beliau. Lalu Ibnu Mas’ud membaca surat an-Nisa hingga firman-Nya, “Maka bagaimanakah (halnya orang kafir nanti), apabila Kami mendatangkan seseorang saksi (rasul) dari tiap-tiap umat dan Kami mendatangkan kamu (Muhammad) sebagai saksi atas mereka itu (sebagai umatmu).” (QS. an-Nisa: 41).

Begitu bacaan tiba pada ayat ini, beliau bersabda, “Cukup.”

Ibnu Mas’ud kemudian menoleh ke arah beliau, dan terlihatlah olehnya bahwa Rasulullah Saw. menangis.

Dalam kisah ini, kita memperoleh pelajaran yang sangat berharga, bahwa Rasulullah Saw. sangat mencintai umat manusia. Beliau sangat mengharapkan agar orang-orang kafir beriman. Karena, balasan kekafiran adalah azab neraka jahanam. Rasulullah pernah melihat surga dan neraka. Beliau melihat, sungguh mengerikan neraka itu dan sungguh indah surga itu. Membayangkan semua itu, membuat hati Rasulullah Saw. bersedih dan airmata berlinangan membasahi pipinya.

Dalam riwayat lain disebutkan, bahwa Rasulullah Saw. pernah mendirikan shalat malam, dengan membaca satu ayat yang diulang-ulang, yang berbunyi, “Jika Engkau menyiksa mereka, maka sesungguhnya mereka adalah hamba-hamba Engkau juga.” (QS. al-Maidah: 118).

Tidak hanya itu, beliau selalu mendoakan umatnya. Sebuah riwayat menyebutkan, bahwa pada saat hari kiamat tiba, beliaulah orang yang pertama kali dibangkitkan. Yang pertama kali diucapkannya adalah, “Mana umatku?, mana umatku?, mana umatku?” Beliau ingin masuk surga bersama umatnya. Beliau kucurkan syafaat kepada umatnya sebagai tanda kecintaan beliau terhadap mereka. Beliau juga sering berdoa, “Allahumma salimna ummati”, ya Allah selamatkanlah umatku.

Serulah manusia ke jalan Allah, agar orang-orang yang lalai segera tersadarkan, dan agar orang-orang yang berada di pinggir jurang neraka terselamatkan dan masuk ke surga. Para penjahat bertobat, pelacur menjadi wanita beriman, mulut mereka melafazkan dzikir, mata mereka bersimbah airmata, hati mereka merasakan ketakutan kepada Allah.

Seandainya orang-orang kafir tidak memusuhi dan memerangi Islam, Rasulullah Saw. tentu tidak akan memerangi mereka. Beliau hanya ingin menyerukan dakwah dengan damai; menyeru manusia ke jalan kebenaran dan kesabaran.

Ketahuilah, bahwa menyeru manusia ke jalan Allah merupakan poros yang paling besar dalam agama dan merupakan tugas yang karenanya Allah mengutus para Nabi. Andaikan tugas ini ditiadakan, maka akan muncul kerusakan di mana-mana dan dunia pun akan binasa. Rasulullah Saw. bersabda, “Hendaklah kalian benar-benar menyuruh kepada yang ma’ruf dan benar-benar mencegah dari yang mungkar, atau benar-benar Allah akan menjadikan orang-orang yang jahat di antara kalian berkuasa atas orang-orang yang baik di antara kalian, lalu doa mereka pun tidak akan dikabulkan.”

Ibnu Abbas Ra. berkata, “Sesungguhnya orang yang mengajarkan kebaikan kepada orang lain, maka setiap hewan melata akan memohonkan ampunan baginya, termasuk pula ikan paus di lautan.”

Berdakwah bagi seorang muslim dan muslimah, tidak hanya menggunakan cara lisan saja, tetapi juga dapat menggunakan cara tulisan dan perbuatan. Seorang muslimah yang berprestasi – tanpa kata-kata – dapat memancarkan aura keteladanan bagi muslim yang lainnya. Karena, seringkali bahasa perbuatan jauh lebih kuat daripada bahasa lisan.

Begitupun jika seorang muslimah tidak memiliki kemampuan yang memadai dalam berbicara ditengah khalayak, dia dapat belajar menggunakan penanya untuk berdakwah, dan efeknya bisa jauh lebih dahsyat daripada dengan lisan. Kelebihan tulisan adalah dakwah kita menjadi dapat terdokumentasi dengan baik.

Wanita muslimah pasti akan menerima informasi kebenaran, memeluk dan memeganginya, kemudian memperjuangkannya, meski harus mengorbankan diri. Prof. Amal Zakariya al-Anshari memformulasikan wanita pendakwah dan penyampai kebenaran di segala waktu dan tempat dalam sebuah artikel yang berjudul “Menjadi Istri Pendakwah: Apa dan Bagaimana?”, sebagai berikut:
1. Sebagai seorang manusia, seorang da’i pasti mengalami masa-masa lelah dan bosan, maka istri harus jeli dan tanggap dengan masalah ini. Jika dilihat suaminya mengalami hal tersebut maka ia harus memompa semangatnya untuk berdakwah, tanpa membuatnya merasa ia sedang menyinggungnya.

Dalam hal ini, istri dapat duduk di samping suaminya, lalu menyebutkan ayat-ayat, hadits-hadits atau kisah-kisah yang dapat memotivasinya untuk lebih maju, sambil menggerakkan kekuatan di dalam dirinya yang mampu meluluhlantakkan setiap kejenuhan.

2. Tidak akan membuat-buat masalah hanya karena hal sepele, sebab ia tahu suaminya membutuhkan kebeningan hati dan ketenangan jiwa, agar bisa kembali bekerja pada bidang dakwah dengan penuh obsesi dan vitalitas. Pertengkaran dan tekanan psikologis akan membunuh tekad kuat di dalam dirinya.

3. Mendukung dan membantunya melaksanakan kebaktian kepada kedua orang tuanya, sebab keduanya merupakan faktor penyebab yang menyokong keberhasilan, kesuksesan, dan kemenangan dalam meraih ridha Allah. Ia juga selalu mengingatkannya untuk menjalin silaturahim dengan mereka, yang sekaligus menjadi panutan bagi orang lain dalam hal ini.

4. Mengatur jadwal suaminya dan mengingatkannya tentang jadwal tersebut.

5. Menerima kekurangan suaminya dalam memenuhi haknya, jika memang dalam kerangka dakwah. Ia juga menghiburnya jika ia melihat suaminya sedang bersedih dan berduka, sehingga suaminya merasa lega dan aman berada di sisinya setiap kali merasa lelah dan penat.

6. Membantu suaminya mengurus masalah-masalah penghidupan selama ia mampu, sebab seorang da’I biasanya sibuk dengan masalah-masalah dakwah, yang merupakan implementasi jihad di jalan Allah.

7. Selalu tampil dengan penuh kelembutan, kesabaran, ketabahan, maaf, dan toleransi.

8. Mendidik anak-anaknya dengan pendidikan yang benar dan membesarkannya dengan ajaran Islam tanpa menyandarkan sepenuhnya pada suaminya. Profesi seorang da’i menuntut suaminya untuk sering bepergian, sehingga ia harus sigap dalam menangani pendidikan dan perawatan anak-anak saat suaminya sibuk dengan urusan dakwah.

9. Selalu memakai busana Islami dan menjauhi tempat-tempat rusak, demi menghindari fitnah beragama dan keterjebakan ke dalam hal-hal syubhat.

10. Sesuatu yang paling menentramkan adalah berada di dada istri yang setia; senyum terindah adalah senyuman jujur istri tercinta; sentuhan terlembut adalah sentuhan halus yang membangkitkan ketenangan jiwa. Hal tersebut akan membuat sang da’i besar kembali seperti anak kecil yang tak berdosa, berkat kualitas keislaman dan pemahaman istrinya terhadap permasalahan yang ada.

Sesungguhnya wanita yang kurang begitu menetapi agamanya senantiasa menyerukan pada hal-hal yang bertentangan dengan Islam meskipun ia tidak berbicara sepatah kata pun dan meskipun tidak melancarkan seruannya ke arah itu. Demikianlah, karena dengan penampilannya tanpa jilbab saja sama halnya dengan seruan terang-terangan untuk membuka jilbab dan dengan berkhalwatnya dia dengan laki-laki lain sudah cukup jelas sama halnya dengan anjuran terang-terangan untuk berkhalwat dengan laki-laki lain dan seterusnya. Terlebih lagi jika dia menambahkan seruan diamnya itu dengan seruan bicaranya kepada teman-teman sekerjanya, teman sepergaulannya, dan para tetangganya, yaitu seruan untuk meninggalkan norma-norma, membebaskan diri dari akhlak terpuji, dan hidup menurut kemauan hawa nafsu, serta menyambut setiap bisikan yang dihembuskan oleh setan.

Oleh karena itu, pantaskah bila seorang muslimah yang menetapi agamanya alpa dari menyeru kepada mereka yang tidak menetapi agamanya, untuk kembali berpegang teguh pada ajaran agamanya?

~ Rabu, 29 Desember 2010 0 komentar

Tafakur Pernikahan: Kesederhanaan dalam Pesta Pernikahan

Ketika Nabi Muhammad Saw. menikahkan Fatimah Ra. dengan Ali bin Abi Thalib Ra., beliau mengundang Abu Bakar, Umar dan Usamah untuk membawakan "persiapan" Fatimah Ra.


Mereka bertanya-tanya, apa gerangan yang dipersiapkan Rasulullah Saw. untuk putri terkasih dan keponakan tersayangnya itu? Ternyata bekalnya cuma penggilingan gandum, kulit binatang yang disamak, kendi, dan sebuah piring.

Mengetahui hal itu, Abu Bakar menangis kemudian bertanya, "Ya Rasulullah. Inikah persiapan untuk Fatimah?" Nabi Muhammad Saw. pun menenangkannya, "Wahai Abu Bakar. Ini sudah cukup bagi orang yang berada di dunia."

Fatimah Ra., sang pengantin itu, kemudian keluar rumah dengan memakai pakaian yang sangat sederhana. Tak ada perhiasan, apalagi pernik-pernik mahal.

Setelah menikah, Fatimah senantiasa menggiling gandum dengan tangannya, membaca al-Quran dengan lidahnya, menafsirkan kitab suci dengan hatinya, dan menangis dengan matanya. Itulah sebagian kemuliaaan dari Fatimah.

Ada ribuan atau jutaan Fatimah yang telah menunjukkan kemuliaan akhlaknya. Dari mereka kelak lahir ulama-ulama ulung yang menjadi guru dan rujukan seluruh imam, termasuk Imam Maliki, Hanafi, Syafi’i, dan Hanbali.

Bagaimana gadis sekarang? Mereka, mungkin tak lagi menggiling gandum, tapi menekan tuts-tuts computer atau berada di laboratorium. Tapi bagaimana lidah, hati, dan mata mereka? Beberapa waktu yang lalu, ada seorang gadis di Bekasi, yang nyaris mati karena bunuh diri.

Rupanya ia minta dinikahkan dengan pujaan hatinya dengan pesta meriah. Karena ayahnya tak mau, dia pun nekat bunuh diri dengan minum Baygon. Untung jiwanya terselamatkan. Seandainya saja tak terselamatkan, naudzubillah min dzalik! Allah mengharamkan surga untuk orang yang mati bunuh diri.

Si gadis tadi rupanya menjadikan kemewahan pernikahannya sebagai sebuah prinsip hidup yang tak bisa dilanggar. Sayang, gadis malang itu mungkin belum menghayati cara Rasulullah menikahkan putrinya.

Atau, ada juga orangtua jika anaknya yang akan menikah tidak diadakan pesta yang meriah dan mewah, maka ia merasa malu. Dengan segala daya dan upaya, baik dengan uang sendiri ataupun meminjam dari orang lain, orangtua tersebut mengadakan pesta pernikahan besar-besaran.

Banyak kejadian, pesta pernikahan yang terlihat mewah, namun setelah itu anak dan menantunya hidup sederhana dan kadang sangat memprihatinkan.

Pesta pernikahan putri Rasulullah itu menggambarkan kepada kita, betapa kesederhanaan telah menjadi "darah daging" kehidupan Nabi yang mulia. Bahkan ketika pesta pernikahan putrinya, yang selayaknya diadakan dengan meriah, Rasulullah tetap menunjukkan kesederhanaan.


Bagi Rasulullah, membuat pesta besar untuk pernikahan putrinya bukanlah hal sulit. Tapi, sebagai manusia agung yang suci, "kemegahan" pesta pernikahan putrinya, bukan ditunjukkan oleh hal-hal yang bersifat duniawi.

Bagi orang-orang yang miskin juga, kisah Rasulullah Saw. ini menjadi teladan bagi mereka. Sehingga mereka dengan mudah menjalankan pernikahan tanpa terbebani hal-hal yang mereka sendiri tidak sanggup untuk melaksanakannya.

Rasul justru menunjukkan "kemegahan" kesederhanaan dan "kemegahan" sifat qanaah, yang merupakan kekayaan hakiki. Rasululllah bersabda, "Kekayaan yang sejati adalah kekayaan iman, yang tecermin dalam sifat qanaah."

Iman, kesederhanaan, dan qanaah adalah suatu yang tak bisa dipisahkan. Seorang beriman, tercermin dari kesederhanaan hidupnya dan kesederhanaan itu tercermin dari sifatnya yang qanaah. Qanaah adalah sebuah sikap yang menerima ketentuan Allah dengan sabar; dan menarik diri dari kecintaan pada dunia. Rasulullah bersabda, "Qanaah adalah harta yang tak akan hilang dan tabungan yang tak akan lenyap." Wallahu ‘alam bish-shawab.

~ Selasa, 28 Desember 2010 0 komentar

Tafakur Pernikahan: Kelebihan dan Kekurangan Pasangan Hidup

Setiap manusia pasti punya kelebihan dan kekurangan. Tidak bisa kita mengatakan bahwa kita selalu berada dalam kekurangan. Karena hal itu berarti mengingkari nikmat yang telah Allah berikan kepada kita. Sedangkan orang yang sombong merasa dirinya lebih daripada orang lain, sehingga dia meremehkan orang itu. Dia tidak melihat di dalam dirinya ada kekurangan yang mungkin orang lain punya kelebihan pada kekurangannya itu. Dia tidak melihat ada yang tidak ada pada dirinya yang mungkin ada pada diri orang lain.


Orang yang kekurangan selalu merasa bersedih dan perbuatan yang dia lakukan serba salah. Melakukan ini salah, melakukan itu salah. Dia selalu mengeluh dan mengeluh tetapi tidak pernah mau belajar untuk memperbaiki diri. Keluhannya menutupi semangatnya dalam mencari ilmu. Dia akhirnya jatuh pada penderitaan yang berkepanjangan. Orang sombong dan yang selalu kurang sama-sama orang yang tidak pandai bersyukur.

Orang yang merasa kurang seharusnya sadar bahwa dirinya hadir di dunia melalui suatu perlombaan yang sangat sengit. Perlombaan itu dimenangi oleh dirinya. Sekitar tiga ratus juta sel sperma saling berebut untuk dapat membuahi sel ovum, namun hanya satu yang berhasil dibuahi, yaitu dirinya. Ya, kita yang hadir di dunia ini adalah para juara sejati. Namun sedikit dari kita yang menyadarinya.

Kita harus yakin bahwa kita bisa melakukan apa yang bisa dilakukan orang lain. Hanya saja orang yang satu dapat lama dalam mempelajari sesuatu, sementara yang lain dapat lebih cepat. Yang satu jago matematika, sedangkan yang lain jago di bidang sastra, apakah orang yang masuk ke dalam kelas bahasa disebut orang yang bodoh, dan yang masuk ke kelas IPA disebut orang yang pintar? Standar yang mengunggulkan logis-matematis itu sudah kuno. Generasi muda kita seharusnya diberi tempat untuk mendapatkan pujian, “sepintar” atau “sebodoh” apapun mereka.

Sudah tidak zamannya lagi si fulan di sebut pintar karena pintar matematika, sementara fulan yang lain disebut bodoh karena tidak pintar matematika. Para ilmuwan kenamaan seperti Howard Gardner dan Thomas Amstrong telah mulai merumuskan kecerdasan manusia dalam delapan, sembilan, hingga lebih dari sepuluh kecerdasan. Setiap manusia memiliki kecerdasan yang mungkin berbeda antara satu dengan yang lain.

Kita akhirnya menyadari dengan potensi yang Allah berikan kepada kita. Bakat dan keterampilan yang kita miliki, menjadikan kita menjadi diri kita sendiri. Yakin dengan diri kita sendiri. Percaya diri bahwa di dunia ini semua manusia di pandang sama dan sederajat. Siapa yang menyangka seorang bekas budak berkulit hitam legam, Bilal, menjadi muadzin masjid Rasulullah dan menjadi salah seorang sahabat kesayangan Rasulullah Saw.. Bahkan Rasul mendengar suara terompah Bilal di surga!

Banyak sekali contoh perbedaan karakter yang dimiliki para sahabat. Ada yang ahli memanah seperti Sa’ad bin Abi Waqqash, ada yang ahli strategi perang seperti Khalid bin Walid, ada yang ahli membuat syair seperti Hisan bin Tsabit, ada yang menjadi negarawan seperti Abu Bakar, Umar, Utsman dan Ali, ada yang ahli hadits seperti Abu Hurairah dan Aisyah, ada yang menjadi penasehat politik seperti Ummu Salamah, dan sebagainya. Khalid Muhammad Khalid telah menulis buku yang sangat bagus berjudul “60 Karakteristik Sahabat Nabi. Rasulullah Saw. ternyata toleran dalam melihat beragamnya karakter yang dimiliki para sahabat. Justru dengan keberagaman itu, beliau satukan menjadi sebuah kekuatan yang sangat dahsyat sehingga mampu menyebarkan dakwah Islam hingga ke luar jazirah Arab.

Ketika kita memasuki mahligai rumah tangga juga kita akan melihat kelebihan dan kekurangan pasangan kita. Dengan pemahaman di atas, hendaknya kita dapat bersabar dengan kekurangan yang ada pada pasangan kita dan bersyukur atas kelebihan yang dimilikinya. Kita melihat dan menyadari bahwa potensi itu juga ada pada diri kita. Tidak ada manusia yang sempurna. Jika kita melihat ada kekurangan pada pasangan kita, bisa jadi kelebihannya jauh lebih banyak daripada kekurangannya. Hanya saja, apakah kita dengan sabar mau melihatnya atau tidak. Atau berhenti pada kekurangan itu saja. Keduanya adalah pilihan kita yang memiliki resiko positif dan negatif. Dengan kesadaran ini, kita akan dapat lebih arif dan bijaksana dalam menyikapi setiap permasalahan yang timbul.

Yang disebut rumah tangga harmonis bukan ada dengan sendirinya, tapi ia diciptakan oleh pemikiran dan keyakinan kita. Keharmonisan muncul karena adanya dua karakter yang memiliki kelebihan dan kekurangan, di mana dengan kelebihan dan kekurangan itu keduanya dapat saling melengkapi, saling mencintai dan menyayangi, mengetahui tugas dan kedudukannya masing-masing, serta saling melindungi dan memunculkan rasa bahagia dan tenteram.

Semoga kita menyadari kekurangan dan kelebihan yang ada pada diri kita. Jika kita sanggup menutup kekurangan-kekurangan itu, maka lakukanlah. Tetapi, penting kita sadari bahwa makhluk tidak ada yang sempurna. Segala sesuatu yang diciptakan manusia selalu saja ada kekurangannya. Allah-lah yang menciptakan kekurangan tersebut agar manusia tidak sombong, namun Allah pula yang menghargai setiap kesalahan kita dalam proses berijtihad dengan memberikan kita satu pahala. Menunggu menjadi sempurna sama dengan menunggu diri kita menjadi Tuhan. Jika kita gagal mendarat di bulan, kita dapat mendarat di salah satu bintang. Yang gagal justru mereka yang tidak mau mengakui bahwa dirinya punya kelebihan sekaligus kekurangan.

~ Minggu, 26 Desember 2010 0 komentar

Wanita 89 Tahun Tamat Kuliah dengan IP 3,9

Di Koran Tribun Jabar (22/12), saya membaca sebuah berita yang cukup menarik. Alangkah baiknya jika saya masukkan di blog ini, mudah-mudahan dapat memberi manfaat dan pelajaran, khususnya kepada para muslimah:

Mencari ilmu tidak ada batasan usia. Chaterine Photos yang berusia 89 tahun sedang mempersiapkan diri menghadiri wisuda di Palm Beach State College. Nilainya juga sangat baik: 3,9. Dia akan mendapatkan gelar di bidang seni.

Photos mulai kuliah pada tahun 2001, enam tahun setelah suaminya meninggal dunia. “Saya merasa kosong ketika duduk sendirian di rumah dan tidak mengerjakan apa-apa,” katanya.

“Dia sangat tekun. Ketika harus mengerjakan tugasnya, ibu saya melakukan dengan sungguh-sungguh,” kata anaknya, Ilene, yang tinggal di Washington, Selasa (21/12).

Photos mengatakan, dia tidak pernah menyerah dan berusaha terus memenuhi mimpinya mendapatkan gelar dari universitas. Akan tetapi karena sibuk bekerja dan berbisnis serta membesarkan tiga anak membuatnya terlalu sibuk, ia pun tidak sempat kuliah.

Setelah mendapatkan gelarnya dalam bidang seni, dia tidak akan berhenti. Photos akan melanjutkan kuliah di Florida Atlantic University untuk mempelajari bahasa Inggris.

Saudariku, sebagaimana disebutkan dalam sebuah hadits, menuntut ilmu itu kewajiban bagi setiap muslim, baik yang laki-laki maupun yang perempuan. Jika demikian, maka setiap muslimah diwajibkan menuntut ilmu. Meskipun tugas utamanya sebagai ibu rumah tangga, waktu-waktu luang dapat digunakan untuk hal-hal yang bermanfaat seperti berdzikir, tilawah al-Quran, atau membaca. Jika waktu luang Anda cukup banyak, bisa saja Anda mengikuti pelatihan, mengasah keterampilan, mengembangkan wawasan, atau kuliah di universitas. Jika Anda sudah menikah, tentu saja hal ini dilakukan atas izin dan ridha suaminya. Jika belum menikah, masa sendiri dapat dipergunakan sebaik mungkin untuk melakukan hal tersebut. Sebagaimana disebutkan oleh Nabi Saw., pergunakan waktu senggangmu sebelum datang waktu sibukmu.

Bercermin dari kisah di atas, kaum muslimah tentu dapat lebih baik lagi. Dengan pendidikan yang baik dan ilmu yang bermanfaat, kita dapat mengarungi kehidupan ini dengan penuh keselamatan, kebahagiaan, dan ketenangan. Dengan ilmu itu, seorang istri dapat mengetahui hak dan kewajibannya dalam berumah tangga, dapat mendidik putra-putrinya dengan cara yang benar, mengetahui mana yang dihalalkan dan mana yang diharamkan. Bagi mereka yang belum menikah, ilmu diibaratkan tabungan yang dapat digunakan pada kesempatan yang akan datang, bisa juga disebarluaskan untuk kemasalahatan bersama. Dengan ilmu, selain meraih kemuliaan dunia, juga merupakan sarana untuk taqarub kepada Allah. Artinya, inilah kelebihan muslimah dibanding wanita-wanita kafir, bagi kita ilmu bukan sekedar untuk ilmu itu sendiri, tetapi menuntut ilmu juga ibadah yang bernilai pahala.

Nah, saudari-saudariku, masih semangat menutut ilmu? 

~ 0 komentar

Ketika Kejenuhan Melanda

Saudariku, ada tiga hal yang perlu kita ketahui ketika kita sedang mengalami kejenuhan. Tulisan ini adalah sebuah renungan bagi orang-orang yang ingin segera keluar dari kejenuhan. Karena, kita tidak boleh berhenti dari melakukan kebaikan. Imam Ibnu al-Jauzy pernah berkata, dalam hidup ini, jika tidak melakukan ketaatan, kita akan melakukan kemaksiatan. Hidup kita tidak lepas dari dua poros pemikiran itu. Bahkan menghibur diri juga bisa dikategorikan sebagai ibadah jika hiburan itu mubah atau diperbolehkan.

Pertama, lemahnya tekad dan kemauan. Kejenuhan akan mengakibatkan kemalasan, dan kemalasan akan mengakibatkan keinginan berbuat maksiat. Kejenuhan tidak akan terjadi jika tekad dan kemauan kita kuat. Batu penghalang setinggi apapun akan dapat dilewati dan ujian dan cobaan seliat apapun akan dilalui juga. Tokoh-tokoh besar dalam sejarah adalah orang-orang yang tekad dan kemauannya kuat. Mereka melakukan pekerjaan mereka dengan istiqomah. Mereka memiliki visi dan misi hidup yang jelas. Mereka selalu mencium aroma penghargaan dari Tuhan dan umat manusia.

Jika saja Thomas Alva Edison berhenti pada kegagalannya yang ke seribu dalam menciptakan bola lampu, niscaya ia tidak akan mendapatkan penghargaan yang luar biasa dari umat manusia. Bagi mereka yang lemah tekad dan kemauannya, pandanglah ke depan, lihatlah di ujung jalan yang sedang kita tempuh, orang-orang menanti kita dengan wajah tersenyum puas dan bahagia. Mereka sedang menanti kita untuk memberikan penghargaan. Mereka akan mengucapkan terima kasih, pelukan hangat, doa, dan dukungan kepada kita.

Dengan tekad dan kemauan yang kuat itulah mengapa orang-orang seperti Ibnu Sina diangkat menjadi bapak kedokteran, Ibnu Khaldun diangkat menjadi bapak ilmu sosiologi, Thomas Alva Edison dikenal sebagai seorang pencipta paling terkemuka di abad ke-20, dan Einstein dikenal sebagai ilmuwan terhebat di abad ke-20. Dengan tekad dan kemauan yang kuat itulah Barack Obama diangkat menjadi Presiden Amerika, Stephen Hawking yang walaupun cacat adalah ilmuwan terhebat di abad ke-21.

Kedua, sering menunda-nunda pekerjaan. Jika kita menunda-nunda pekerjaan, berarti kita sedang menumpuk-numpuk pekerjaan. Biasanya ketika melihat pekerjaan yang begitu banyak, kita menjadi susah berkonsentrasi. Karena merasa berat, kita meninggalkannya. Terus saja pekerjaan itu semakin banyak bertumpuk. Tidak ada habis-habisnya.

Jika kita merasa jenuh, ada baiknya kita memeriksa apakah ada pekerjaan yang belum terselesaikan. Dengan menyelesaikan pekerjaan yang sudah seharusnya kita selesaikan, berarti kita mengurangi beban kita. Jika kita sudah masuk di dalamnya, kita akan merasakan kenikmatan yang luar biasa. Tinggal kita istiqomah dalam menjalankannya hingga tugas itu satu demi satu dapat terselesaikan dengan baik.

Tentang larangan menunda-nunda pekerjaan, Allah Swt. telah memberikan isyaratnya kepada kita. Allah Swt. berfirman dalam surat Alam Nasyrah ayat 7, “Maka apabila kamu telah selesai (dari sesuatu urusan), kerjakanlah dengan sungguh-sungguh (urusan) yang lain.”

Dalam ayat ini, Allah Swt. seolah tidak memberikan jeda kepada kita untuk bermalas-malasan. Kita harus menyelesaikan pekerjaan kita dengan sungguh-sungguh dan setelah itu mengerjakan pekerjaan yang lain dengan sungguh-sungguh pula. Hidup ini terus saja berputar sampai kita menemui ajal.

Ketiga, kemaksiatan membuat kita lemah. Kemaksiatan adalah nama lain dari kehinaan, kemunduran, kehancuran, ketakutan, dan kebinasaan. Ketika kemaksiatan sudah menggerogoti diri kita, maka semangat dalam beramal akan memudar bahkan tidak ada sama sekali. Mungkin pada awalnya kita bersemangat dalam beramal, namun kemudian berhenti di tengah jalan sebelum mencapai tujuan. Jika semangat kita sudah mulai lemah, introspeksilah diri kita apakah ada kemaksiatan yang telah kita lakukan sebelumnya.

Obat bagi orang-orang yang telah berbuat maksiat adalah bertaubat dan taqarub kepada Allah Swt.. Dengan taubat, Allah akan membersihkan hati kita dari noda-noda maksiat, dan dengan taqarub, Allah akan memberikan kita kekuatan. Karena, tiada daya dan kekuatan kecuali berasal dari Allah. Jika Allah memberikan kekuatan kepada kita, tidak ada yang sanggup melemahkan kita. Jika Allah memberi petunjuk kepada kita, tidak ada yang sanggup menyesatkan kita meskipun seluruh setan dan manusia bersatu untuk menyesatkan kita. Ketaatan kepada Allah adalah nama lain dari kemuliaan, kebahagiaan, kesuksesan, kejayaan, dan keberanian.

Saudariku, semoga Allah selalu menaungi kita dengan petunjuk agar kita tidak tersesat jalan. Kita akan terus melangkah meskipun kita menemui banyak hambatan. Mungkin kita perlu berhenti sejenak, tapi itu untuk mengisi perbekalan yang mungkin sudah hampir habis dan kemudian melanjutkan perjalanan lagi. Sampai ajal datang menjemput. Kalau kita berhenti pada saat ini juga, berarti kita kalah.

~ Kamis, 23 Desember 2010 0 komentar

Kiat Sukses Muslimah dalam Mentadaburi al-Quran

Seorang muslimah ketika hatinya jatuh hati kepada Kitabullah, niscaya ia meyakini bahwa kesuksesan, keselamatan, kebahagiaan, dan keunggulan terdapat di dalam membaca dan mentadaburi (menghayati dan mengambil makna) al-Quran. Keyakinan ini menjadi titik tolak untuk melesatkan diri mencapai puncak kesuksesan, dan menapaki tangga-tangga kebahagiaan dunia dan akhirat.

Mengingat manusia pasti memiliki pemahaman yang berbeda satu sama lain dalam memahami ayat-ayat al-Quran dan dalam mengaplikasikannya bagi kehidupan mereka, walaupun kepala sama-sama hitam. Lebih-lebih faktor individu pun berpengaruh. Bisa jadi seorang terbuka pemahamannya terhadap beberapa ayat. Ia lantas terpengaruh dan bisa mentadaburinya. Di lain waktu ia dihadapkan pada satu ayat, namun dirinya tidak mampu menguak maknanya. Ia kemudian terus memikirkannya, mengapa pada ayat yang kemarin dibaca begitu berpengaruh pada jiwanya, sedangkan pada hari ini, bacaan al-Quran yang dia baca tidak mudah ia pahami dan menguak maknanya.

Sebenarnya, memahami al-Quran dan kemampuan diri untuk mentadaburinya adalah pemberian (mauhibah) dari Allah Swt. Dia memberikannya kepada orang yang bersungguh-sungguh memintanya, kemudian menempuh pelbagai cara yang dapat mengantarkan ilmu kepadanya. Inilah yang terjadi pada seorang ulama yang bernama Tsabit al-Bannani. Ia berkata, “Aku geluti al-Quran selama 20 tahun. Lalu baru 20 tahun kemudian aku temukan kenikmatannya.”

Apa yang dikatakan al-Bannani benar adanya. Jadi cobalah Anda berdiri di depan pintu terus-menerus tanpa henti sampai pintu itu terbuka. Dengan catatan, Anda benar-benar memahami keagungan yang Anda cari. Ketika pintu tersebut terbuka, Anda akan memasuki dunia yang tidak ada kata-kata serta ungkapan yang mampu menggambarkan dan mengilustrasikan hakikatnya. Adapun bila Anda tergesa-gesa dan malah memilih pulang, niscaya Anda akan mendapat kekayaan yang begitu agung dan kesempatan yang tidak akan Anda temukan lagi di sisa umur Anda.

Terdapat sepuluh kiat meraih sukses dalam mentadaburi al-Quran:

1. Hati
Hati (qalbu) adalah alat untuk memahami al-Quran. Sedangkan tabiat hati, tunduk pada kehendak Allah yang membolak-balikkannya sesuai kehendak-Nya. Jelas, dalam hal ini, seorang hamba sangat membutuhkan Tuhannya yang akan membukakan hatinya untuk memahami al-Quran, sehingga ia berkesempatan untuk menelusuri kandungan dan harta karun al-Quran.

2. Target, tujuan atau urgensi
Maksudnya, menghadirkan target-target dari membaca al-Quran sebagai jawaban dari pertanyaan, mengapa saya membaca al-Quran? Apa tujuan dan manfaat bagi saya dalam membaca al-Quran? Dan seterusnya.

3. Shalat
Maksudnya, agar bisa membaca dengan tadabur harus dalam shalat.

4. Malam hari
Artinya, menitikberatkan semangat membaca al-Quran pada malam hari, yaitu ketika shalat malam (qiyamul lail), di mana pada saat itu waktu yang bersih dan perhatian kita lebih terfokus.

5. Pekan
Ini adalah komitmen untuk mengulang-ulang bacaan al-Quran setiap pecan, walau hanya sebagiannya saja.

6. Hafalan
Yaitu upaya maksimal untuk bisa menghafal al-Quran dan membacanya dengan cara dihafal. Karena dengan cara demikian, si pembaca dapat terfokus dan menyerap pesan dan kesan dari ayat-ayat yang tengah dibaca.

7. Mengulang-ulang
Yaitu mengulang-ulang bacaan ayat-ayat al-Quran.

8. Menghubungkan ayat-ayat
Yaitu menghubungkan ayat-ayat yang dibaca dengan realitas keseharian si pembaca berikut pandangan dirinya terhadap kehidupan.

9. Tartil
Maksudnya, membaca al-Quran dengan perlahan-lahan dan tenang, tidak tergesa-gesa, sebab yang menjadi target adalah pemahaman bukan jumlah.

10. Mengeraskan bacaan al-Quran
Tujuannya agar bisa lebih terfokus dan menyampaikan pesan al-Quran dari dua arah, yakni tulisan dan suara.

Itulah cara dan media yang satu sama lain saling menopang dalam rangka meraih tingkatan tertinggi dalam menghayati al-Quran, mengambil manfaat, dan pengaruh dari al-Quran.       


Rujukan:
Panduan Tadabbur dan Meraih Sukses dengan al-Quran karya Prof. Dr. Khalid bin Abdul Karim al-Lahim

~ Rabu, 22 Desember 2010 0 komentar

Cermin Hati


Kita dapat melihat fisik kita saat kita bercermin. Bagaimana rupa, rambut, tangan, badan, kulit kita, dan lain-lain. Tujuan dari cermin adalah memantulkan kembali siapa diri kita. Tapi hal itu tergantung dari cermin itu sendiri, apakah bersih atau kotor. Cermin yang kotor, tidak dapat memperlihatkan diri kita sebenarnya. Kita agak kesulitan untuk mengenali bagian tubuh kita yang tidak terlihat oleh pandangan mata kita. Jika saja ada goresan pena di wajah kita, kita tidak mengetahuinya, karena kita melihat bahwa yang kotor itu cerminnya, bukan wajah kita.

Saudariku, demikianlah cermin yang ada di luar dunia kita. Apa yang ada di dalam diri kita jauh lebih besar daripada apa yang ada diluar diri kita. Penyakit yang ada dalam tubuh kita, lebih berbahaya daripada penyakit yang terlihat dipermukaan. Penyakit jiwa lebih berbahaya daripada penyakit fisik. Penyakit fisik bisa disembuhkan dengan kesegaran ruhani. Sementara penyakit jiwa tidak dapat disembuhkan dengan berbagai macam obat-obatan fisik. Ia hanya bisa disembuhkan oleh kesadaran ruhaniah. Sesungguhnya cermin fisik hanya menyentuh dunia luar kita, tetapi ia tidak mampu menyentuh dunia dalam kita. Ia tidak dapat menyentuh perasaan, kegelisahan, ketakutan, ataupun ketenangan kita. Tidak mungkin kita melihat perasaan kita dengan penampilan fisik semata. Bisa saja kita menutup-nutupi kekurangan diri kita dengan cara berhias, berpakaian rapi, berjalan anggun, dan berbicara sopan, tetapi ketika dihadapkan pada ujian dan cobaan, hatinyalah yang berbicara.

Seberapa dalam kita mengenal diri kita, tergantung bersih atau tidaknya cermin yang ada di dalam diri kita. Cermin yang bersih menimbulkan kepekaan ruhani yang tinggi. Pemiliknya sangat sensitif pada hal yang terkait akhirat, iman, ibadah, akhlak mulia, dan syariat. Rasulullah Saw. biasa beristighfar seratus kali sehari, padahal beliau sudah dihapuskan dosa-dosanya baik yang sebelum maupun sesudahnya. Para sahabat Rasulullah sering mengatakan, “Andaikan aku sebatang pohon yang ditebang...Andaikan aku rumput yang diinjak-injak...Andaikan aku jerami yang dibakar...” Kata-kata itu timbul dari hati yang bersih sehingga menghasilkan kepekaan yang menakjubkan.

Kita tidak heran dengan orang yang malu ketika berhadapan dengan orang lain, tetapi Abu Bakar menutup wajahnya saat di WC. Beliau malu kepada Allah Swt. Pada suatu ketika Abu Bakar kedatangan rombongan dari negeri Yaman. Salah seorang dari rombongan itu membaca al-Quran, anggota rombongan lain yang mendengarnya pun menangis. Melihat hal itu, Abu Bakar kagum. Beliau mengatakan bahwa tangisan itu hadir dari hati yang bersih.
 
Orang-orang saleh tergetar hatinya tidak hanya pada saat melakukan ibadah, tetapi juga ketika melihat suatu fenomena atau mendengar sebuah syair saja. Orang-orang saleh begitu lembut perasaannya. Ketika nasihat dia dengarkan, nasihat itu memantul pada cermin hati, memberitahukan siapa diri kita sebenarnya. Dengan jelas dia melihat dirinya sebenarnya. Ketika melihatnya, dia menangis karena banyak sekali kekurangan dan dosa-dosa yang telah ia lakukan.

Anas bin Malik Ra. berkata, “Rasulullah Saw. berkhutbah kepada kami, sama sekali aku belum pernah mendengar khutbah yang seperti itu sebelumnya. Rasulullah Saw. bersabda, ‘Jika kalian mengetahui apa yang aku ketahui, sungguh kalian akan banyak menangis dan sedikit tertawa’. Maka para sahabat menutupi wajah-wajah mereka, dan sesaat terdengarlah suara isakan tangis.”

Pada suatu ketika Rasulullah Saw. membaca ayat, “Dan janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia (karena sombong) dan janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri.” (QS. Luqman: 18).

Kemudian Nabi Saw. berbicara tentang kesombongan. Beliau mengatakan bahwa hal itu adalah perkara yang besar. Maka Tsabit bin Qais yang duduk di sisi Rasulullah Saw. menangis. Lalu Rasulullah Saw. berkata kepadanya, “Apa yang membuatmu menangis?” Dia menjawab, “Wahai Nabi Allah, sesungguhnya aku ini orang yang sangat mencintai keindahan, sampai-sampai tali terompahku aku bagus-baguskan?” Rasulullah Saw. bersabda, “Engkau penghuni surga, bukan termasuk kesombongan lantaran memperbagus kendaraan dan tempat tinggal. Akan tetapi kesombongan adalah menolak kebenaran dan meremehkan orang lain.”

Abu Musa al-Asy’ari Ra. berkhutbah dihadapan orang-orang di Bashrah. Dalam khutbahnya dia menyinggung tentang api neraka. Dia menangis sampai airmatanya jatuh ke mimbar. Maka orang-orang pun menangis sejadi-jadinya.

Zirr bin Hubaisy menulis surat kepada Khalifah Abdul Malik bin Marwan. Lewat surat itu dia menasihatinya. Pada akhir surat itu tertulis:
Wahai Amirul Mukminin, kesehatan yang ada padamu janganlah membuatmu terlena mengharapkan panjangnya masa hidup. Sesungguhnya engkaulah yang lebih tahu akan dirimu! Dan ingatlah apa yang dikatakan oleh orang-orang generasi awal:
Apabila orang dewasa, anak mereka telah lahir
Dan jasad mereka telah rusak karena ketuaan
Dan jatuh sakit pun telah biasa menimpanya
Itulah masa panen telah dekat

Setelah membaca surat itu, Khalifah Abdul Malik pun menangis keras.
Saudariku, ketika cermin hati kita tidak bersih, kita tidak dapat mengenal diri kita sebenarnya. Kekotoran kita ditutup-tutupi dengan keadaan cermin yang kotor. Jika sudah tidak dapat mengenal diri kita, kita tidak dapat mengenal Tuhan kita. Naudzubillahi mindalik.

~ Selasa, 21 Desember 2010 0 komentar

Tafakur Sejenak

Kita dikejar-kejar oleh pekerjaan duniawi kita. Dari pagi sampai sore kita mencari nafkah. Malamnya kita bercengkrama dengan anak dan suami kita. Sesudah itu kita tidur hingga pagi. Waktu kita yang tersisa untuk merenung seorang diri tidak ada.

Saudariku, kesibukan kita pada dunia yang kita lakukan terus-menerus hanya menumpulkan mata hati kita dari melihat keajaiban yang ada di sekeliling kita. Bagi orang yang punya mata hati, melihat anak-suaminya seperti melihat suatu keajaiban. Dia berpikir, mereka ada di sisiku, mereka bermain bersamaku; bersenda gurau dan bercengkrama. Tapi mereka akan berpisah denganku ketika nyawa tak lagi dikandung badan. Airmata pun menetes di wajahnya. Dia pun berdoa, “Ya Allah, selamatkanlah kami dari siksa api neraka. Pertemukan kami kembali di surga-Mu.”

Inilah yang dilakukan oleh generasi ulul albab. Mereka bertafakur mengamati keajaiban alam semesta ini. Mereka orang yang sibuk, tapi mereka menyediakan waktu untuk berhenti sejenak dari aktivitas keduniawian. Mereka bertafakur, bermuhasabah, merenungi apa yang mereka lihat, baca, dan dengar. Saudariku, tersediakah waktu luang untukmu bertafakur seorang diri?

~ Senin, 20 Desember 2010 0 komentar

File Kehidupan

Suatu ketika Amirul Mukminin Umar bin Khathab Ra. berkeliling kampung guna melihat keadaan rakyatnya lebih dekat. Umar berhenti sejenak di sebuah rumah di mana dia mendengar perdebatan kecil antara seorang ibu dan anaknya. 

Ibu itu berkata kepada anaknya, ''Anakku, tambahkanlah air pada susu yang akan kita jual ini.'' Sang anak menjawab, ''Wahai ibu, saya tidak mungkin melakukannya karena hal itu dilarang Khalifah Umar.'' Ibunya kembali berkata, ''Anakku, Umar tidak melihat apa yang kita kerjakan ini.'' Sang anak menjawab, ''Wahai ibu, biar pun Umar tidak melihat kita, tapi Tuhannya Umar (Allah) sedang melihat kita.'' Sang ibu tertegun mendengar kata-kata yang diucapkan anaknya itu, dan akhirnya tidak jadi melakukan perbuatan buruk itu. 

Khalifah Umar yang ikut mendengarkan tak kalah tertegunnya. Beliau merasa kagum dengan akhlak dan kepribadian gadis itu. Beliau pulang ke rumahnya dan menceritakan kejadian itu kepada istri dan anak-anaknya. Kemudian beliau menawarkan gadis itu kepada seorang putranya untuk dinikahi. Dari hasil pernikahan itu, kelak terlahirlah anak keturunan yang cerdas lagi shalih, pemimpin umat dan pembaru yang tiada tandingannya, Umar bin Abdul Aziz Rahimahullah.

Orang lain mungkin tidak melihat keburukan yang kita lakukan, tetapi Allah Penguasa langit dan bumi melihatnya. Allah telah menyimpan file film kehidupan kita yang kelak akan diperlihatkan kepada kita di yaumil akhir, tanpa sensor sedikit pun! Tidakkah kita merasa malu, jika keburukan-keburukan kita mulai dari yang kecil hingga yang besar dipertontonkan kepada seluruh makhluk-Nya? 

Ternyata orang yang selama ini kita kenal baik sebagai pejabat, tokoh masyarakat, telah melakukan perbuatan buruk dan tercela. Namun, mereka sengaja menyembunyikannya. Padahal, tidak ada sesuatu pun yang luput dari Allah atas apa yang telah mereka kerjakan. Allah Swt. berfirman, ''Mereka bersembunyi dari manusia, tetapi mereka tidak bersembunyi dari Allah. Padahal, Allah beserta mereka, ketika suatu malam mereka menetapkan keputusan rahasia yang Allah tidak ridhai. Dan adalah Allah Maha Meliputi (ilmu-Nya) terhadap apa yang mereka kerjakan.'' (QS. an-Nisa: 108).

Dalam ayat-Nya yang lain Allah Swt. berfirman, ''Kamu tidak berada dalam suatu keadaan dan tidak membaca suatu ayat dari Alquran dan kamu tidak mengerjakan suatu pekerjaan, melainkan Kami menjadi saksi atasmu di waktu kamu melakukannya. Tidak luput dari pengetahuan Tuhanmu biarpun sebesar zarrah di bumi ataupun di langit. Tidak ada yang lebih kecil dan tidak (pula) yang lebih besar dari itu, melainkan (semua tercatat) dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfuzh).'' (QS. 10: 61).

Karena itu, berhati-hatilah dalam meniti kehidupan ini. Setiap kali kita bertutur kata, berusahalah untuk jujur. Setiap kali kita berjalan, berusahalah untuk selalu melangkah dalam kebaikan. Setiap kali tangan kita digerakkan, berusahalah agar tangan ini kelak tidak menjadi saksi atas keburukan yang pernah kita lakukan.


~ Jumat, 17 Desember 2010 0 komentar

Foto-foto 1

Bersama ibu dan anak yatim di Pondok Anak Yatim al-Hilal Cililin Bandung

  Bersama murid-murid SD Islam Mutiara Hati mengumpulkan sumbangan untuk Korban Bencana Gunung Merapi

 Bersama murid-murid SD Islam Mutiara Hati

Fieldtrip ke rumah Davin



~ Kamis, 16 Desember 2010 0 komentar

Tafakur Pernikahan: Menumbuhkan Bunga Cinta Di Dalam Keluarga

Jika kita merasa bahwa kebahagiaan dan rasa cinta yang terjalin di dalam rumah tangga kita masih kurang, maka hendaklah kita mengerjakan shalat tahajud bersama pasangan hidup kita. Sebab, perbuatan tersebut dapat mengisi rumah tangga kita dengan kebahagiaan, kegembiraan, dan cinta.

Rasulullah Saw. bersabda, "Semoga Allah menyayangi seorang laki-laki yang bangun pada sebagian waktu malam, kemudian mengerjakan shalat (malam) dan membangunkan istrinya, dan jika sang istri enggan untuk bangun maka ia akan memercikkan air ke wajah istrinya; dan semoga Allah menyayangi seorang perempuan yang bangun pada sebagian waktu malam, kemudian mengerjakan shalat (malam) dan membangunkan suaminya, dan ketika suami enggan bangun maka ia akan memercikkan air ke wajah suaminya." (HR. Abu Daud, Nasa'i, Ibnu Majah, dan Ahmad).


Rasulullah Saw. juga bersabda, "Barangsiapa bangun pada sebagian waktu malam dan membangunkan istrinya, kemudian mereka mengerjakan shalat dua rakaat maka mereka berdua akan dicatat sebagai bagian dari orang-orang yang banyak berdzikir kepada Allah Swt., baik kaum laki-laki maupun perempuan." (HR. Abu Daud dan Ibnu Majah).


Pada suatu malam, Nabi Saw. keluar rumah, kemudian beliau pergi ke rumah Fatimah dan Ali dengan tujuan membangunkan mereka berdua untuk shalat malam. Beliau pun mengetuk pintu rumahnya (tampaknya mereka baru saja bangun tidur). Nabi Saw. bersabda, "Apakah kalian berdua telah shalat malam?" Ali menjawab, "Diri kami ini berada dalam genggaman Allah. Jika Dia menghendaki untuk membangunkan kami, niscaya Dia akan membangunkan kami."


Mendengar jawaban itu, Nabi Saw. pun meninggalkan mereka dalam keadaan marah. Ali berkata, "Saya mendapati beliau berpaling (untuk meninggalkan kami) sambil memukulkan tangannya ke pahanya, lalu beliau membaca firman Allah, 'Dan sesungguhnya Kami telah mengulang-ulangi bagi manusia dalam Al Quran ini bermacam-macam perumpamaan. Dan manusia adalah makhluk yang paling banyak membantah'." (QS. al-Kahfi: 54).


Nabi Saw. pernah bangun pada suatu malam, kemudian menemukan semua istrinya masih tidur. Beliau pun bersabda, "Siapakah (di antara kalian) yang membangunkan para penghuni kamar (istri-istri)nya? Maka sungguh di hari kiamat mereka akan telanjang." (HR. Bukhari).


Para sahabat Nabi juga mencontoh apa yang dilakukan Nabi tersebut. Umar bin Khaththab membangunkan keluarganya dan membaca firman Allah Swt., "Dan perintahkanlah kepada keluargamu mendirikan shalat dan bersabarlah kamu dalam mengerjakannya. Kami tidak meminta rezeki kepadamu, Kamilah yang memberi rezki kepadamu. Dan akibat (yang baik) itu adalah bagi orang yang bertakwa." (QS. Thaha: 132).


Anas bin Malik Ra. selalu membagi waktu malamnya menjadi tiga bagian. Anas melakukan shalat malam pada sepertiga malam yang pertama, kemudian ia membangunkan istrinya agar mengerjakan shalat malam pada sepertiga malam kedua, lalu istrinya membangunkan anak perempuannya -- yang merupakan anak satu-satunya -- agar mengerjakan shalat malam pada sepertiga malam yang ketiga.


Ketika sang istri wafat, Anas membagi waktu malamnya menjadi dua, separuh untuk dirinya dan separuh yang lain untuk anak perempuannya. Ia mengerjakan shalat malam pada separuh malam yang pertama, sedangkan anak perempuannya mengerjakan shalat malam pada separuh malam lainnya. Kemudian ketika Anas wafat, anak perempuannya berusaha keras untuk mengerjakan shalat malam sepanjang malam.


Inilah salah satu rahasia mengapa Rasulullah menasehati kita untuk mengerjakan shalat tahajud bersama-sama keluarga kita. Karena, ia akan menyuburkan kembali tanah cinta yang semula gersang, memekarkan bunga cinta yang semula kuncup, menambah kedekatan hati dengan pasangan hidup kita. Saat itulah waktu yang sangat jernih untuk menemukan makna cinta dalam satu biduk rumah tangga.


Semoga Allah memberikan kita kekuatan dan petunjuk agar kita dapat mengerjakan shalat tahajud bersama keluarga kita. Dan, semoga Allah memberikan rahmat-Nya karena apa yang kita lakukan tersebut. Amin ya Rabbal alamiin.

~ 0 komentar

Melihat Kebaikan dalam Segala Hal

Saudariku, segala sesuatu yang diciptakan pasti memiliki tujuan dan nilai tersendiri. Tugas kita sebagai manusia adalah beribadah untuk mendapat ridha Allah. Bila kita dapat belajar melakukannya, kita dapat belajar mengasuh jiwa kita. Sangat mudah melihat kebaikan Allah dalam indahnya matahari terbit, gemerlapnya bulan dan bintang, senyum manis adik kita, pegunungan yang indah, atau deburan ombak yang menerpa karang dan pantai berpasir. Namun, dapatkah kita belajar menemukan kesucian dalam situasi yang tidak mengenakkan? Melalui cobaan hidup yang berat, tragedi keluarga, atau cobaan hidup?

Sebuah kisah yang dimuat surat kabar nasional menuturkan tentang perjuangan seorang ibu yang anaknya menderita penyakit Autis. Autis adalah gangguan perkembangan khususnya terjadi pada masa anak-anak, yang membuat seseorang tidak mampu mengadakan interaksi sosial dan seolah-olah hidup dalam dunianya sendiri. Sang ibu sangat marah, frustasi, dan kecewa saat tahu anaknya menderita Autis. Namun, dia segera sadar bahwa apa yang dilakukannya itu tidak akan menyelesaikan masalah. Kemudian dia mulai mempelajari masalah-masalah yang terkait dengan penyakit Autis. Mulai dari uji pendengaran BERA, EEG, sampai ke CT scan. Dengan penuh kegigihan, dia membawa anaknya itu ke Australia.

Tak ingin ditaklukan keadaan, pencariannya juga merambah ke dunia maya. Lewat internet, ia berkonsultasi dengan pakar Autis di luar negeri. Berbagai terapi dijalani; terapi wicara, terapi okupasi, terapi pendidikan khusus, sampai terapi diet. Dia juga berhasil menyabet gelar master Health Counseling dari Curtin University dan berhasil menulis tiga buah buku tentang Autis. Kejadian itu juga membuatnya untuk lebih dekat dengan anaknya dan juga mensyukuri nikmat yang telah diberikan-Nya.

Dari hasil telaahnya, anak Autis memiliki kelemahan dalam pendengaran, tetapi memiliki kelebihan dalam penglihatan. Gayatri – si ibu – kemudian mengeksplorasi kelebihan tadi. Bersama suami, ia memperkenalkan berbagai profesi berdasarkan kelebihan dalam penglihatan. Di kelas enam, Ananda – anaknya yang menderita Autis – mulai menekuni dunia fotografi. Kelak, ia ingin menjadi seorang fotografer. Ananda kini juga sudah mahir berbahasa Inggris.

Saudariku, betapa agungnya Allah menciptakan semua ini. "(Allah) Yang menciptakan tujuh langit berlapis-lapis. Kamu sekali-kali tidak melihat pada ciptaan Tuhan Yang Maha Pemurah sesuatu yang tidak seimbang. Maka lihatlah berulang-ulang, adakah kamu lihat sesuatu yang tidak seimbang? Kemudian pandanglah sekali lagi niscaya penglihatanmu akan kembali kepadamu dengan tidak menemukan sesuatu cacat dan penglihatanmu itu pun dalam keadaan payah." (QS. al-Mulk: 3-4).

Bila hidup diisi dengan rasa rindu untuk melihat kesucian setiap hari, hal ajaib akan mulai terjadi. Suatu perasaan damai merekah. Bila kita sadar dunia ini hadir karena kekuasaan Allah, itu saja sudah memunculkan sesuatu yang istimewa. Bila kita ingat fakta spiritual ini ketika menghadapi orang yang sedang ditimpa kesulitan, hal ini akan memperluas sudut pandang kita. Ini akan selalu membantu kita untuk selalu mengingat Allah, baik dalam keadaan sempit maupun lapang. Kita benar-benar diberkahi untuk melakukan apa yang kita kerjakan.

Di suatu tempat, di dalam kepala kita, cobalah untuk mengingat bahwa ada kebaikan Allah dalam segala hal. Kenyataan bahwa kita tidak bisa melihat keindahan di dalam suatu hal bukanlah berarti keindahan itu tidak ada di dalamnya. Sebaliknya, itu berarti kita tidak cukup cermat mencarinya atau tidak memiliki sudut pandang yang cukup luas untuk melihatnya.

~ Rabu, 15 Desember 2010 1 komentar

Contoh Muslimah yang Teguh Keimanannya

Muawiyah bin al-Hakam al-Aslami Ra. berkata, “Aku memiliki seorang budak perempuan yang kerjanya menggembala kambingku di lereng gunung Uhud dan sekitarnya. Suatu hari aku dapati seekor serigala telah membawa pergi satu ekor kambing. Sebagai manusia tentu saja aku marah, maka aku tampar ia sekali. Aku datang menghadap Rasulullah Saw. dengan perasaan bersalah besar atas kejadian tersebut, ‘Wahai Rasulullah, haruskah aku memerdekakannya?’ Beliau menjawab, ‘Hadapkan dia kemari!’ Beliau lalu menanyainya, ‘Di manakah Allah?’ Dia menjawab, ‘Di langit.’ Beliau bertanya lagi, ‘Siapa aku?’ Dia menjawab, ‘Utusan Allah.’ Serta merta beliau bersabda, ‘Merdekakan dia. Sesungguhnya dia seorang mukminah yang beriman’.”


Saudariku, mari kita perhatikan kisah Siti Hajar saat ditinggalkan Ibrahim As. di samping al-Bait di Makkah al-Mukarramah, di dekat tenda tak jauh dari zam zam. Sementara di Makkah saat itu belum ada segelintir manusia pun dan air pun tidak ada. Dia hanya ditemani bayinya yang masih menyusu, Ismail. Kisah ini menyajikan satu gambaran yang sangat mengagumkan di hadapan wanita muslimah, tentang imannya kepada Allah dan tawakal serta kepasrahan yang utuh kepada-Nya. Dengan tegar, mantap dan penuh keyakinan, Hajar bertanya kepada Ibrahim, “Allah-kah yang memerintahkan engkau berbuat seperti ini wahai Ibrahim?”

“Benar,” jawab Ibrahim.

“Kalau begitu Dia tidak akan menyia-nyiakan kami,” jawab Siti Hajar penuh keridhaan dan disertai keyakinan akan datangnya kabar gembira dan perlindungan.

Sungguh merupakan tindakan yang sangat berat dan menggugah hati, bagaimana seorang laki-laki harus meninggalkan istri dan anaknya yang masih menyusu di tengah hamparan padang pasir; tidak ada tetumbuhan, air maupun manusia. Setelah itu, beliau langsung berbalik ke negeri Syam yang amat jauh. Dia hanya meninggalkan satu kantong berisi buah korma dan satu wadah dari kulit yang berisi air. Andaikan tidak ada keimanan yang mendalam dan memenuhi hati Siti Hajar; andaikan tidak ada tawakal yang utuh kepada Allah yang menghiasi perasaannya, tak bakalan dia sanggup menghadapi keadaannya saat itu dan tentu dia akan roboh tak berdaya sejak awal mula berada di sana. Yang seperti ini tidak terjadi pada diri wanita yang secara abadi selalu diingat orang-orang yang menunaikan ibadah haji. Mereka mengenangnya menjelang malam dan di ujung siang, yaitu saat mereka menciduk air zam zam yang suci, saat mereka melakukan Sa’i dari Shafa ke Marwah, sebagaimana dia berlari-lari kecil pada hari yang sangat mendebarkan itu.

Keyakinan iman ini menghasilkan buah yang sangat mengagumkan dalam kehidupan kaum muslimin, bahwa Allah menyaksikan dan mengetahui semua rahasia, bahwa Dia senantiasa bersama manusia, di mana pun kita berada.

Pada saat khalifah Umar bin Khaththab Ra. tengah meronda di malam hari, beliau berhenti di suatu tempat. Di tempat itu secara tidak sengaja beliau mendengar pembicaraan antara seorang ibu dan anaknya. “Wahai putriku, ambillah susu itu dan campurilah ia dengan air biasa!”

Putrinya menjawab, “Wahai ibu, apakah ibu tidak tahu keputusan yang diambil Amirul Mukminin pada hari ini?”

“Apa memang keputusan yang diambilnya wahai putriku?” tanya sang ibu.

“Dia memerintahkan seseorang untuk mengumumkan bahwa susu tidak boleh dicampur dengan air,” jawab putrinya.

“Wahai putriku, ambil saja susu itu dan campuri ia dengan air. Toh saat ini kamu berada di suatu tempat yang tidak bisa dilihat Umar,” kata sang ibu.

Putrinya berkata, “Aku sama sekali tidak akan menaatinya saat ramai dan mendurhakainya saat sepi.”

Demi mendengar itu semua, Umar lalu memerintahkan pembantunya untuk menyelidiki tentang ibu dan anaknya itu. Aslam – pembantu Umar – menuturkan, “Lalu kudatangi rumah itu. Ternyata wanita yang memberikan jawaban seperti itu masih gadis, dan wanita yang berbicara dengannya adalah ibunya, yang di rumah itu tidak ada seorang laki-laki pun. Kudatangi Umar dan kukabarkan hal ini kepadanya. Lalu dia memanggil putra-putranya dan mengumpulkan mereka. Dia berkata, ‘Apakah di antara kalian ada yang membutuhkan seorang wanita untuk bisa kunikahkan dengannya? Andaikan ayah kalian masih berminat kepada seorang wanita, tentu salah seorang di antara kalian tidak akan bisa mendahuluinya untuk mendapatkan anak gadis itu’.”

Di antara ketiga anak laki-laki Umar, hanya Ashim yang belum menikah. Maka jadilah Ashim menikahi gadis itu. Dari wanita itu lahir seorang putri, dan dari putri tersebut lahirlah Umar bin Abdul Aziz, salah satu di antara lima khalifah Rasulullah yang terkenal dengan kesalehan dan keadilannya.

Ini merupakan kesadaran sanubari yang ditanamkan Islam ke dalam jiwa muslimah tersebut. Sungguh ini merupakan gambaran ketakwaan yang lurus dan benar, baik saat ramai maupun sepi, karena keyakinan bahwa Allah senantiasa bersama dia. Ini adalah sebuah bentuk keimanan yang mendalam, yang membuahkan hasil yang menggembirakan bagi pelakunya, tidak hanya kelak di akhirat dengan mendapatkan surga-Nya, tetapi juga di dunia dengan mendapatkan keturunan yang saleh.

~ Selasa, 14 Desember 2010 0 komentar

Akhlak Kita adalah Gambaran Batin Kita

"Wahai Ummu Salamah, akhlak yang baik membawa kebaikan untuk kehidupan dunia dan akhirat." (al-Hadits)

Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin dalam kitab Makarimul Akhlaq mengatakan, al-Khuluq (bentuk mufrad/tunggal dari kata akhlaq) berarti perangai atau kelakuan, yakni sebagaimana yang diungkapkan oleh para ulama: “Gambaran batin seseorang.” Karena pada dasarnya manusia itu mempunyai dua gambaran:
1. Gambaran zhahir (luar): Yaitu bentuk penciptaan yang telah Allah jadikan padanya sebuah tubuh. Dan gambaran zhahir tersebut di antaranya ada yang indah dan bagus, ada yang jelek dan buruk, dan ada pula yang berada pada pertengahan di antara keduanya atau biasa-biasa saja.

2. Gambaran batin (dalam): Yaitu suatu keadaan yang melekat kokoh dalam jiwa, yang keluar darinya perbuatanperbuatan, baik yang terpuji maupun yang buruk (yang dapat dilakukan) tanpa berpikir atau kerja otak. Dan gambaran ini juga ada yang baik jika memang keluar dari akhlaq yang baik, dan ada pula yang buruk jika keluar dari akhlaq yang buruk. Inilah yang kemudian disebut dengan nama “khuluq” atau akhlaq. Jadi, khuluq atau akhlaq adalah gambaran batin yang telah ditetapkan pada seseorang.

Saudariku, jika memang demikian adanya, tentu akhlak buruk keluar dari kondisi batin yang buruk pula. Sementara akhlak baik keluar dari kondisi batin yang baik. Marilah kita merenung tentang hal ini. Marilah kita bertanya pada diri kita masing-masing, bagaimana kondisi batin kita saat ini, apakah dalam kondisi baik atau buruk.

Mari kita perindah batin kita dengan meningkatkan amalan-amalan ruhiyah seperti shalat fardhu berjamaah, membaca dan mendengarkan bacaan al-Quran, berdzikir, shalat sunah, shaum, berdoa, dzikrul maut, dan bermuhasabah. Mudah-mudahan dengan mengerjakan semua itu, akhlak kita menjadi lebih mulia.

Sungguh aku merasa heran dengan perkataan seorang intelek di negeri ini yang mengatakan bahwa bisa\ tidaknya seseorang membaca al-Quran atau sering\ tidaknya seseorang membaca al-Quran, tidak ada hubungannya seseorang itu tidak korupsi atau tidak. Hal itu dia katakan ketika di Aceh dan beberapa tempat yang lainnya menyelenggarakan test baca al-Quran bagi para caleg. Perkataannya itu adalah perkataan orang yang tidak paham tentang esensi keberadaan Islam. Dia menganggap bahwa ibadah tidak ada hubungannya dengan akhlak. Sedangkan Islam berkata sebaliknya, bahwa ibadah memiliki kaitan yang erat dengan akhlak. Mana buktinya?

Rasulullah Saw. menyebutkan bahwa Allah tidak akan mengazab hati orang-orang yang memerhatikan (mentadaburi) al-Quran. Umat ini akan meraih kejayaan dengan al-Quran dan mengalami kemunduran karena meninggalkan al-Quran.

Tidak diragukan lagi bahwa perkara shalat akan terasa berat bagi sebagian orang, terutama bagi orang-orang munafik. Rasulullah Saw. bersabda, “Shalat yang paling berat bagi orang-orang munafik adalah shalat isya' dan shalat subuh.”

Akan tetapi perkara shalat bagi seorang mukmin tidaklah berat, Allah berfirman, “Jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu. Dan sesungguhnya yang demikian itu sungguh berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyu, (yaitu) orang-orang yang meyakini, bahwa mereka akan menemui Tuhannya, dan bahwa mereka akan kembali kepada-Nya.” (QS. al-Baqarah: 45 & 46).

Rasulullah Saw. juga bersabda, “Telah dijadikan sebagai penyejuk mataku ketika shalat.”
Dalam riwayat lain disebutkan, Rasulullah Saw. pernah berkata kepada Bilal, “Wahai Bilal, hiburlah kita dengan shalat.”

Karena, ketika sedang shalat ada rasa nyaman, ketenangan jiwa dan kelapangan. Tidak seperti yang dikatakan oleh sebagian orang: Hiburlah kita dengan selain shalat!, karena shalat terasa berat bagi mereka dan menyusahkan diri-diri mereka.

Allah Swt. berfirman, “Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan- perbuatan) keji dan mungkar.” (QS. al-Ankabut: 45).

Dengan demikian, tanpa mengerjakan shalat berarti keinginan untuk berbuat keji dan mungkar semakin besar dalam diri kita. Apabila kita menegakkan shalat, shalat itu akan mempengaruhi akhlak dan perilaku kita menjadi lebih baik lagi. Ibnu Abbas Ra. berkata, “Shalat mempunyai kekuatan untuk mencegah kecenderungan berbuat dosa.”

Abu Hurairah Ra. menceritakan, “Seseorang datang menemui Rasulullah Saw. serta menceritakan seseorang yang senantiasa shalat sepanjang malam dan setelah itu mencuri sebelum fajar. Rasulullah Saw. bersabda, ‘Shalatnya tidak lama lagi akan mencegahnya dari perbuatan dosa itu.”

Mengomentari hadits ini, Syaikh Maulana Zakariya al-Kandhalawy mengatakan, “Hadits ini menerangkan bahwa kebiasaan melakukan maksiat dapat dihentikan dengan cara tekun mendirikan shalat dengan ikhlas. Memang sukar dan memakan waktu lama untuk menghentikan suatu kebiasaan buruk. Tetapi lebih mudah dan lebih cepat apabila segera memulai mendirikan shalat dengan tertib, niscaya dengan rahmat Allah tabiat-tabiat buruk itu akan hilang satu demi satu.”

Dalam riwayat lain, Rasulullah Saw. bersabda, “Setan takut pada seorang muslim selama dia menjaga shalat dan menjaganya dengan sempurna, tetapi apabila dia melalaikan shalatnya, maka setan akan datang menyesatkannya, setelah itu mereka akan mudah digoda untuk melakukan dosa-dosa besar dan berat.”

Tentang dzikir, Allah Swt. berfirman, “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu memerangi pasukan (musuh), maka berteguh hatilah kamu dan sebutlah (nama) Allah sebanyak-banyaknya agar kamu beruntung.” (QS. al-Anfal: 45).

Ayat ini menunjukkan bahwa dzikir memberi manfaat untuk meningkatkan keberanian kita dalam berjihad dan beramal di jalan Allah.

Dalam ayat yang lain disebutkan, “(yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka manjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah-lah hati menjadi tenteram.” (QS. ar-Ra’d: 28).

Dzikir membuahkan ketenangan dan ketenteraman. Pribadi yang tenang lahir dari sikap pasrah, optimis, dan yakin akan keberadaan Allah.

Demikianlah beberapa keutamaan ibadah yang memiliki kaitan secara langsung dengan akhlak kita.

~ Senin, 13 Desember 2010 0 komentar

Muslimah Tidak Berkata Keji

“Diamlah wahai Aisyah. Sesungguhnya Allah tidak menyukai kata-kata keji dan mengata-ngatai dengan perkataan yang keji.” (al-Hadits)

Inilah wasiat nabawi yang di dalamnya terkandung anjuran kepada akhlak yang baik dan melarang akhlak yang buruk. Boleh jadi banyak wanita yang mengira bahwa yang disebut takwa ialah melaksanakan hak Allah tanpa harus memenuhi hak hamba-Nya. Ini merupakan pemikiran yang salah.

Allah Swt. berfirman, “Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya.” (QS. al-Maidah: 2).

Mengomentari ayat di atas, Imam Ibnul Qayyim berkata, “Ayat al-Quran ini mengandung semua mashlahat untuk hamba, baik maslahat di kehidupan dunia maupun kehidupan akhirat. Ayat ini juga mengandung aturan berinteraksi antara sesama manusia (horisontal) dan hubungan antara hamba dengan Tuhan mereka (vertikal). Sebab setiap hamba tidak akan pernah terpisah dari kedua interaksi ini. Hal itu merupakan dua buah kewajiban bagi mereka: kewajiban antara manusia dengan Allah Swt. dan kewajiban antara sesama makhluk.

Sesuatu yang terjalin antara sesama hamba, apakah itu berupa pergaulan sehari-hari, saling tolong-menolong dan persahabatan, maka semuanya wajib didasarkan pada niat untuk mencari ridha Allah dan taat kepada-Nya. Sebab hanya itulah tujuan kebahagiaan hamba. Jika mereka tidak mendasarkan semua hubungannya dengan sesama hamba untuk mencari ridha dan untuk taat kepada Allah, maka dia tidak akan pernah meraih kebahagiaan.”

Nabi Saw. bersabda, “Sesuatu yang paling berat dalam timbangan adalah akhlak yang baik.”
Karena adanya balasan yang komplit ini, maka para sahabat Rasulullah Saw. berusaha untuk memiliki akhlak yang baik, dengan berharap mendapatkan pahala dan balasan yang agung.

Menjaga lisan termasuk salah satu kesempurnaan Islam seseorang, Rasulullah Saw. bersabda, “Sebaik-baik (kualitas) keislaman kaum mukminin adalah orang yang kaum muslimin merasa aman dari (kejahatan) lisan dan tangannya. Sebaik-baik (kualitas) keimanan kaum mukminin adalah mereka yang paling baik akhlaknya…..

Allah Swt. berfirman, “Allah tidak menyukai ucapan buruk, (yang diucapkan) dengan terus terang kecuali oleh orang yang dianiaya. Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS. an-Nisa: 148).

Maksud dari “Allah tidak menyukai ucapan yang buruk” adalah, ucapan buruk seperti mencela orang, memaki, menerangkan keburukan-keburukan orang lain, menyinggung perasaan seseorang, dan sebagainya.

Allah Swt. berfirman, “Hai orang-orang yang beriman, janganlah sekumpulan orang laki-laki merendahkan kumpulan yang lain, boleh jadi yang ditertawakan itu lebih baik dari mereka. Dan jangan pula sekumpulan perempuan merendahkan kumpulan lainnya, boleh jadi yang direndahkan itu lebih baik. Dan janganlah suka mencela dirimu sendiri dan jangan memanggil dengan gelaran yang mengandung ejekan. Seburuk-buruk panggilan adalah (panggilan) yang buruk sesudah iman dan barangsiapa yang tidak bertobat, maka mereka itulah orang-orang yang zalim.” (QS. al-Hujurat: 11).

Yang dimaksud dengan kalimat “janganlah suka mencela dirimu sendiri” ialah mencela antara sesama mukmin karena orang-orang mukmin seperti satu tubuh. Sedangkan yang dimaksud dengan “panggilan yang buruk sesudah iman” adalah gelar yang tidak disukai oleh orang yang digelari, seperti panggilan kepada orang yang sudah beriman, dengan panggilan seperti: hai fasik, hai kafir dan sebagainya.

Saudariku, selagi engkau memiliki akhlak yang baik, maka segala urusan yang sulit akan menjadi mudah bagimu, hati yang dibakar amarah akan melunak, dan akan semakin banyak orang yang mencintaimu serta sedikit yang memusuhimu. Ketahuilah! Akhlak yang buruk akan menjadi kesialan bagi pelakunya dan akan menjadi sebab datangnya siksaan di dunia serta di akhirat. Imam Hasan al-Bashri berkata, “Barangsiapa yang buruk akhlaknya, sama saja dia menyiksa diri sendiri.”

~ 0 komentar