Muslimah Menuntut Ilmu

~ Minggu, 05 Desember 2010
“Menuntut ilmu adalah kewajiban bagi setiap muslim.” (HR. Thabrani).

Hadits ini menginformasikan tentang kewajiban menuntut ilmu bagi wanita muslimah, sebagaimana kewajiban pada kaum laki-laki, dengan tetap memperhatikan disiplin ilmu apa saja yang khusus bagi mereka.

Imam Ibnu al-Jauzy berkata, “Wanita adalah pribadi yang mukallaf (dibebani kewajibannya), yang setara dengan laki-laki. Ia harus mempelajari hal-hal yang diwajibkan atas dirinya, agar ia bisa melaksanakannya dengan penuh keyakinan. Jika ia tidak memiliki ayah, saudara, suami, atau mahram yang mengajarinya tentang kewajiban-kewajiban agama dan cara menunaikan berbagai kewajiban, maka ia cukup mengetahui sebagiannya saja (jika ia mampu). Bila tidak maka ia harus belajar dari syaikh-syaikh yang masih bergigi lengkap, tanpa harus berkhalwat dengannya (mengunjunginya sesuai kebutuhan). Jika ada sesuatu yang terjadi, yang menyangkut agamanya, maka ia mesti bertanya dan tidak usah malu-malu, sebab Allah tidak malu pada kebenaran.”

Sementara Imam Ibnu Hazm berpendapat, “Kaum wanita harus mengembara untuk memperdalam agama, sebagaimana kewajiban yang sama bagi kaum laki-laki. Semua wanita harus mengetahui hukum-hukum bersuci, shalat, puasa, hal yang halal dan yang haram dari jenis makanan, minuman, serta pakaian. Mereka berkewajiban mengerti ucapan-ucapan dan amalan-amalan, baik dengan mempelajarinya sendiri maupun dengan menemui guru yang bisa mengajarinya. Dalam hal ini seorang pemimpin berkewajiban membimbing umatnya.”

Semakin mendalam ilmu yang kita raih, semakin besar rasa cinta kita kepada Allah dan semakin besar pula ketundukan kita kepada-Nya. Hati ini bergetar ketika mendengar ayat-ayat Allah dibacakan. Seluruh indera “bersujud” ketika melihat kebesaran penciptaan-Nya. Allah Swt. berfirman, “Sesungguhnya orang-orang yang diberi pengetahuan sebelumnya apabila al-Quran dibacakan kepada mereka, mereka menyungkur atas muka mereka sambil bersujud, dan mereka berkata: ‘Maha Suci Tuhan kami, sesungguhnya janji Tuhan kami pasti dipenuhi’. Dan mereka menyungkur atas muka mereka sambil menangis dan mereka bertambah khusyu'.” (QS. al-Isra’: 107-109).

Dia juga berfirman, “Allah menyatakan bahwa tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia, Yang menegakkan keadilan. Para malaikat dan orang-orang berilmu juga menyatakan yang demikian itu. Tidak ada Tuhan (yang berhak disembah melainkan Dia, Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (QS. Ali Imran: 18).

Yang menjadi pembahasan kita adalah kalimat “orang-orang berilmu…,” Imam Ibnu Katsir di dalam kitab tafsir-nya mengatakan, “Ini adalah sebuah keutamaan yang sangat besar bagi para ulama.” Keutamaan mana lagi yang lebih besar daripada menjadi orang yang namanya dipersandingkan oleh Allah Swt. dengan nama-Nya sendiri dan nama para malaikat-Nya ketika mempersaksikan tentang ketuhanan-Nya?

Allah Swt. berfirman, “…sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya hanyalah ulama…” (QS. Fathir: 28). Menurut Dr. Aidh al-Qarni, ayat ini terletak setelah ayat-ayat yang berbicara tentang tanda-tanda kebesaran Allah yang terbentang di alam ini dan ayat-ayat tentang syariat-syariat yang telah ditetapkan-Nya. Dan makna sebaliknya dari ayat ini adalah bahwa orang yang bukan ulama tidak akan takut kepada Allah Swt.. Fakta membuktikan bahwa banyak ilmuwan non-muslim memeluk agama Islam setelah melihat tanda-tanda kebesaran Allah di alam ini dan di dalam al-Quran. 

Dalam ayat lain, Allah Swt. berfirman, “…dan tiada yang memahaminya kecuali orang-orang yang berilmu.” (QS. al-Ankabut: 43). Artinya: tidak ada yang dapat memahami ayat-ayat Allah, mencerna maksud-maksud ketentuan-Nya, dan mengetahui takwil dari berbagai kejadian yang ditimpakannya, kecuali orang-orang yang berilmu.

Rasulullah Saw. bersabda, “Sesungguhnya para malaikat benar-benar meletakkan sayapnya kepada orang yang mencari ilmu, karena ridha terhadap apa yang dicarinya.” (HR. Ahmad dan Ibnu Majah).

Menurut Imam al-Khaththaby, meletakkan sayap di sini ada tiga pengertian: Pertama, bisa berarti membentangkan sayapnya. Kedua, bisa berarti merendahkan dan menundukkannya, karena hendak menyampaikan hormat kepada orang yang mencari ilmu. Ketiga, malaikat itu sendiri turun ke majelis ilmu, menunggui dan tidak terbang dari sana.

Pintu-pintu ilmu senantiasa terbuka bagi muslimah. Dia dapat memasuki salah satu dari pintu tersebut sekehendak hatinya, dan berhias dengan ilmu yang sangat berharga selama hal itu tidak merusak kodrat kewanitaannya dan tabiatnya. Bahkan dia harus selalu meningkatkan kemampuan akalnya sekaligus mematangkan perasaannya. Dalam sejarah para tokoh muslimah terdapat contoh tentang kegigihan mereka dalam menuntut ilmu.

Sebagai contoh, Ummul Mukminin Aisyah Ra. merupakan rujukan pertama dalam ilmu hadits dan sebagai ahli fikih pertama, yang pada saat itu beliau masih berumur sembilan belas tahun.

Imam az-Zuhri mengatakan, “Seandainya ilmu Aisyah dibandingkan dengan ilmu semua istri Nabi Saw. dan semua wanita, niscaya ilmu Aisyah itu lebih unggul.”

Kecemerlangan pendapatnya dan juga kecerdasan otak Aisyah tidak hanya dalam masalah agama saja, melainkan juga ahli dalam ilmu sastra, adab, sejarah, kedokteran, dan ilmu-ilmu lainnya yang ada pada zamannya. Hal itu diungkapkan seorang fakih, Urwah bin Zubair, “Aku tidak pernah melihat seorang pun yang lebih menguasai ilmu fikih dan ilmu kedokteran serta syair melebihi Aisyah.”

Bagaimana Aisyah Ra. menguasai ilmu kedokteran? Hal ini pernah dikatakan Aisyah Ra. kepada Urwah bin Zubair, “Wahai Urwah, ketika Rasulullah Saw. sakit, selama itu pula tabib-tabib dari berbagai penjuru Arab datang silih berganti. Mereka memberikan berbagai resep untuk beliau dan akulah yang memberi obat kepada beliau. Dari sanalah aku mengetahui ilmu kedokteran.”

Aisyah binti Thalhah (keponakan Ummul Mukminin Aisyah Ra.) pernah ikut dalam sebuah pertemuan yang diadakan oleh Hisyam bin Abdil Malik. Pada pertemuan itu dihadiri oleh pembesar Bani Umayah. Mereka ini tidak membicarakan sedikit pun dari ihwal bangsa Arab, syair-syairnya serta hari-hari mereka melainkan Aisyah mengetahui apa yang mereka bicarakan sehingga dia ikut angkat bicara, bahkan menyinggung masalah ilmu astronomi. Maka Hisyam bin Malik bertanya kepadanya, “Mengenai keteranganmu yang pertama aku dapat memakluminya, sedangkan mengenai ilmu astronomi, dari mana kamu mempelajarinya?” Maka Aisyah binti Thalhah menjawab, “Aku mempelajarinya dari bibiku, Ummul Mukminin Aisyah Ra..”

Selain itu, Aisyah juga dikenal sebagai wanita yang memiliki lisan yang sangat fasih dan sangat menyentuh. Itulah yang menjadikan al-Ahnaf bin Qais berkata, “Aku sudah pernah mendengar khutbah Abu Bakar, Umar bin Khaththab, Utsman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, dan para khalifah setelahnya. Tetapi aku tidak pernah mendengar ucapan dari mulut satu makhluk pun yang lebih agung dan indah selain dari mulut Aisyah.”

Musa bin Thalhah berkata, “Aku tidak pernah melihat seorang pun yang lebih fasih bicaranya daripada Aisyah.” Sedangkan Muawiyah berkata, “Demi Allah, aku tidak pernah melihat seorang khatib pun yang kata-katanya lebih menggugah dan lebih fasih daripada Aisyah.”

Para wanita dari kalangan tabi’in juga berdatangan ke rumah Aisyah untuk belajar, di antara muridnya adalah Amrah binti Abdurrahman bin Sa’ad bin Zurarah. Ibnu Hibban berkata, “Dia adalah orang yang paling mengetahui hadits-haditsnya Aisyah.”

Imam Ibnu Atsir berkata tentang Khansa Ra. – salah seorang shahabiyah, ”Semua ahli sastra telah sepakat bahwa Khansa Ra. adalah seorang penyair wanita terbaik di kalangan bangsa Arab. Di dalam sejarah belum pernah ada orang yang menulis puisi seindah Khansa Ra..”

Di antara deretan nama wanita generasi terdahulu yang cemerlang dalam ilmu adalah Hafshah binti Sirin yang masyhur dengan ibadahnya, kefaqihannya, bacaan al-Qurannya, dan hadits-haditsnya. Begitu pula Ummu Darda ash-Shuqra Hujaimah, ia seorang yang faqih, ’alimah, banyak meriwayatkan hadits, cerdas, masyhur dengan keilmuan, amalan, dan zuhudnya.

Tokoh wanita lain yang menguasai ilmu adalah puteri Said bin al-Musayyab, seorang ilmuwan terkemuka pada zamannya, yang menolak menikahkan puterinya dengan putera Amirul Mukminin Abdul Malik bin Marwan, dan menikahkannya dengan salah seorang muridnya yang saleh, Abdullah bin Wada’ah. Setelah menikah, Abdullah masuk menemui istrinya, ternyata dia melihat istrinya seorang wanita yang sangat cantik dan paling hafal al-Quran serta paling tahu Sunnah Rasulullah Saw. dan juga hak-hak istri. Ketika waktu subuh telah tiba, Abdullah bin Wada’ah hendak keluar kamar, istrinya pun bertanya, “Hendak kemana?”

Lalu Abdullah menjawab, “Aku hendak ke majelis ayahmu, Sa’id bin al-Musayyab, guna belajar ilmu darinya.” Maka istrinya pun berucap, “Duduklah, aku akan ajarkan kepadamu ilmu ayahku, Said.” Selanjutnya Abdullah selama satu bulan tidak menghadiri halaqoh (pertemuan) tempat menimba ilmu Said bin al-Musayyab karena dia belajar ilmu Said dari wanita cantik yang menjadi istrinya itu.

Aisyah Ra. berkata tentang wanita Anshar, “Sebaik-baik kaum wanita adalah wanita Anshar. Rasa malu tidak menghalangi mereka untuk memperdalam agama.” Ya, wanita Anshar adalah wanita yang paling banyak bertanya kepada Rasulullah tentang masalah-masalah agama – dari masalah-masalah kecil hingga masalah besar.

Wanita lain yang menguasai ilmu pengetahuan adalah Fatimah binti Ala’uddin as-Samarqandi, seorang penulis kitab Tuhfatul Fuqaha. Ibnu Saad telah mengkhususkan satu bab dalam buku-nya, ath-Thabaqat, untuk mencantumkan para perawi hadits wanita. Di dalam kitab tersebut disebutkan lebih dari 700 wanita perawi hadits langsung dari Rasulullah Saw. maupun dari sahabat-sahabatnya. Selain itu, beliau juga menyebutkan sejumlah ulama dan imam kaum muslimin yang mengambil riwayat dari wanita-wanita tersebut.

Wanita-wanita muslimah ada yang menjadi penulis dan penyair kondang, seperti Ulyah binti al-Mahdi, Aisyah binti Ahmad bin Qadim, dan Walladah binti al-Khalifah al-Mustakfi Billah. Ada juga yang berprofesi dokter sekaliber Zainab, tabib Bani Awad yang terkenal dengan terapi penyembuhan berbagai gangguan mata, dan Ummul Hasan binti al-Qadhi Abu Ja’far ath-Thajali yang merupakan tabib termasyhur dan terkemuka dalam disiplin ilmu kedokteran. Ada pula yang menjadi ahli hadits, seperti Karimah al-Marwaziyyah dan Sayyidah Nafisah binti Muhammad.

Al-Hafidz Ibnu Asakir – ahli hadits yang digelari Hafidzul Ummah – di antara guru-gurunya adalah sebanyak 87 orang wanita. Dan yang menambah kecemerlangan dan cerahnya lembaran sejarah wanita adalah bahwa mereka semua sangat jujur dan dapat dipercaya. Hal ini disaksikan sendiri oleh Imam al-Hafidz adz-Dzahabi dalam buku Mizanul I’tidal. Di dalam kitab tersebut disebutkan 4000 perawi laki-laki yang muttaham riwayatnya. Kemudian beliau berkata, “Aku tidak mengetahui seorang pun dari perawi wanita yang muttaham dan haditsnya dianggap matruk (dusta).”

Sejarah Islam telah mengabarkan tentang kehebatan menuntut ilmu para wanitanya. Mari kita jadikan diri kita bagian dari kafilah surga ini, karena orang yang menuntut ilmu akan dimudahkan jalan baginya ke surga.

0 komentar:

Posting Komentar