Kesabaran Muslimah
Jumat, 03 Desember 2010
Label:
Artikel
~
Dari Ummu al-Ala’, dia berkata, “Rasulullah Saw. menjengukku tatkala aku sedang sakit, lalu beliau berkata, ‘Bergembiralah wahai Ummu al-Ala’. Sesungguhnya sakitnya seorang muslim itu membuat Allah menghapus kesalahan-kesalahannya, sebagaimana api yang menghilangkan kotoran emas dan perak’.” (HR. Abu Daud).
Adalah sebuah kepastian bahwa kita akan menghadapi ujian dan cobaan dalam hidup ini. Bisa jadi cobaan itu menimpa langsung pada orang-orang yang kita cintai. Tetapi di sanalah akan tampak kadar keimanan kita sesungguhnya, apakah akan bersabar ataukah kecewa pada takdir Allah.
Dengan kesabaranlah, seorang wanita berkulit hitam, masuk surga. Diriwayatkan dari Atha’ bin Abu Rabah, dia berkata: Ibnu Abbas Ra. bertanya, “Belum pernahkah aku tunjukkan kepadamu sosok wanita penghuni surga?” Aku menjawab, “Belum.” Ia berkata, “Perempuan hitam ini. Ia mengadu kepada Nabi Saw., ‘Aku mengidap penyakit epilepsi maka aku khawatir jika auratku terlihat tanpa sepengetahuanku (saat penyakit epilepsinya kambuh). Aku mohon engkau berkenan berdoa kepada Allah untuk kesembuhanku’. Beliau menjawab, ‘Jika kamu bisa bersabar maka surga menjadi bagianmu. Namun jika kamu mau aku mendoakan kesembuhan untukmu, maka akan aku doakan’. Ia menjawab, ‘Aku pilih bersabar saja. Namun aku khawatir jika auratku terbuka anpa aku sadari, maka doakanlah agar auratku tidak terbuka anpa sadar’. Beliau pun mendoakannya.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Abu Hasan Siraj berkisah: Ketika aku sedang melakukan tawaf haji, aku melihat seorang wanita yang sangat cantik, bercahaya dalam kecantikannya. Aku memandangnya dan berkata, “Demi Allah, kecantikan dan wajah seperti ini pastilah karena ia tidak pernah mengalami derita atau kesedihan.”
Rupanya ia mendengar perkataanku. Ia berkata, “Tuan, begitukah yang ada dalam pikiran Tuan? Demi Allah, saya sudah terhempas dalam derita dan kesedihan yang menimpa saya. Hati dan jiwa saya dipenuhi begitu banyak duka tanpa seorang pun yang bisa diajak berbagi derita.” Aku bertanya, “Apa yang terjadi ibu?”
Ia menjawab, “Suamiku sekali waktu menyembelih kambing sebagai qurban, ketika aku sedang menyusukan bayiku. Kedua anakku yang lain sedang bermain-main di sekitarku. Ketika aku ingin masak daging, salah seorang di antara anakku berkata pada saudaranya, ‘Ayo, aku perlihatkan padamu bagaimana bapak menyembelih kambing’. Saudaranya berkata, ‘Ayo, tunjukkan’. Yang pertama menyuruh yang lain berbaring dan kemudian memotong lehernya, seperti bapaknya menyembelih kambing. Ketika ia menyadari apa yang terjadi, ia lari ke gunung. Di sana ia diserang serigala dan dimangsa oleh serigala tersebut.
Si ayah pergi mencarinya ke mana-mana sampai mati kehausan. Sementara itu, di rumah, aku panik mencemaskan berita tentang suamiku. Aku letakkan bayiku dan menuju pintu untuk menanyakan siapa saja yang punya berita tentang suamiku. Bayi itu merangkak menuju tungku api yang sedang menjerang air. Ia menggapainya dan panci air itu jatuh membakar tubuh bayi itu dengan begitu menggenaskan sehingga daging bayi itu meleleh dari tulangnya. Ketika adikku yang sudah menikah mendengar kejadian ini di rumah suaminya, ia mati karena terkejut. Jadi tinggallah aku menanggung semua derita itu sendirian.”
Aku bertanya kepadanya, “Bagaimana ibu berhasil mengatasi semua musibah ini dengan sabar?” Ia menjawab, “Siapa saja yang merenungkan perbedaan antara sabar dan tidak sabar, ia akan tahu betapa jauhnya kedua dunia itu. Pahala kesabaran itu kemuliaan, sedangkan pahala ketidaksabaran tidak ada sama sekali.”
Engkau, wahai saudariku muslimah, adalah orang yang sabar, lembut, santun dan ramah. Bahkan kesabaranmu mungkin tidak ada batasnya, dalam kecintaan, harapan, mengasuh serta memberikan perhatian kepada anak-anak, mengurus suami, dan juga dalam pekerjaan yang selalu engkau geluti.
Engkau tentu pasti ingat bahwa engkau pernah mengandung bayi selama sembilan bulan penuh. Bagimu, sembilan bulan itu merupakan bulan-bulan yang penuh dengan kesabaran. Engkau tidak mungkin tidak melewati fase itu, karena sembilan bulan tetaplah sembilan dan tidak dapat diubah.
Dapat dikatakan bahwa penantian waktu yang dilakukan oleh wanita sewaktu mengandung melahirkan kemampuan dalam dirinya kekuatan menanti, dan selanjutnya kekuatan menanti melahirkan kekuatan istimewa, yaitu kekuatan bersabar. Dan wanita yang cerdas mengetahui bagaimana ia harus memelihara dan memanfaatkan kekuatan bersabar itu.
Adalah sebuah kepastian bahwa kita akan menghadapi ujian dan cobaan dalam hidup ini. Bisa jadi cobaan itu menimpa langsung pada orang-orang yang kita cintai. Tetapi di sanalah akan tampak kadar keimanan kita sesungguhnya, apakah akan bersabar ataukah kecewa pada takdir Allah.
Dengan kesabaranlah, seorang wanita berkulit hitam, masuk surga. Diriwayatkan dari Atha’ bin Abu Rabah, dia berkata: Ibnu Abbas Ra. bertanya, “Belum pernahkah aku tunjukkan kepadamu sosok wanita penghuni surga?” Aku menjawab, “Belum.” Ia berkata, “Perempuan hitam ini. Ia mengadu kepada Nabi Saw., ‘Aku mengidap penyakit epilepsi maka aku khawatir jika auratku terlihat tanpa sepengetahuanku (saat penyakit epilepsinya kambuh). Aku mohon engkau berkenan berdoa kepada Allah untuk kesembuhanku’. Beliau menjawab, ‘Jika kamu bisa bersabar maka surga menjadi bagianmu. Namun jika kamu mau aku mendoakan kesembuhan untukmu, maka akan aku doakan’. Ia menjawab, ‘Aku pilih bersabar saja. Namun aku khawatir jika auratku terbuka anpa aku sadari, maka doakanlah agar auratku tidak terbuka anpa sadar’. Beliau pun mendoakannya.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Abu Hasan Siraj berkisah: Ketika aku sedang melakukan tawaf haji, aku melihat seorang wanita yang sangat cantik, bercahaya dalam kecantikannya. Aku memandangnya dan berkata, “Demi Allah, kecantikan dan wajah seperti ini pastilah karena ia tidak pernah mengalami derita atau kesedihan.”
Rupanya ia mendengar perkataanku. Ia berkata, “Tuan, begitukah yang ada dalam pikiran Tuan? Demi Allah, saya sudah terhempas dalam derita dan kesedihan yang menimpa saya. Hati dan jiwa saya dipenuhi begitu banyak duka tanpa seorang pun yang bisa diajak berbagi derita.” Aku bertanya, “Apa yang terjadi ibu?”
Ia menjawab, “Suamiku sekali waktu menyembelih kambing sebagai qurban, ketika aku sedang menyusukan bayiku. Kedua anakku yang lain sedang bermain-main di sekitarku. Ketika aku ingin masak daging, salah seorang di antara anakku berkata pada saudaranya, ‘Ayo, aku perlihatkan padamu bagaimana bapak menyembelih kambing’. Saudaranya berkata, ‘Ayo, tunjukkan’. Yang pertama menyuruh yang lain berbaring dan kemudian memotong lehernya, seperti bapaknya menyembelih kambing. Ketika ia menyadari apa yang terjadi, ia lari ke gunung. Di sana ia diserang serigala dan dimangsa oleh serigala tersebut.
Si ayah pergi mencarinya ke mana-mana sampai mati kehausan. Sementara itu, di rumah, aku panik mencemaskan berita tentang suamiku. Aku letakkan bayiku dan menuju pintu untuk menanyakan siapa saja yang punya berita tentang suamiku. Bayi itu merangkak menuju tungku api yang sedang menjerang air. Ia menggapainya dan panci air itu jatuh membakar tubuh bayi itu dengan begitu menggenaskan sehingga daging bayi itu meleleh dari tulangnya. Ketika adikku yang sudah menikah mendengar kejadian ini di rumah suaminya, ia mati karena terkejut. Jadi tinggallah aku menanggung semua derita itu sendirian.”
Aku bertanya kepadanya, “Bagaimana ibu berhasil mengatasi semua musibah ini dengan sabar?” Ia menjawab, “Siapa saja yang merenungkan perbedaan antara sabar dan tidak sabar, ia akan tahu betapa jauhnya kedua dunia itu. Pahala kesabaran itu kemuliaan, sedangkan pahala ketidaksabaran tidak ada sama sekali.”
Engkau, wahai saudariku muslimah, adalah orang yang sabar, lembut, santun dan ramah. Bahkan kesabaranmu mungkin tidak ada batasnya, dalam kecintaan, harapan, mengasuh serta memberikan perhatian kepada anak-anak, mengurus suami, dan juga dalam pekerjaan yang selalu engkau geluti.
Engkau tentu pasti ingat bahwa engkau pernah mengandung bayi selama sembilan bulan penuh. Bagimu, sembilan bulan itu merupakan bulan-bulan yang penuh dengan kesabaran. Engkau tidak mungkin tidak melewati fase itu, karena sembilan bulan tetaplah sembilan dan tidak dapat diubah.
Dapat dikatakan bahwa penantian waktu yang dilakukan oleh wanita sewaktu mengandung melahirkan kemampuan dalam dirinya kekuatan menanti, dan selanjutnya kekuatan menanti melahirkan kekuatan istimewa, yaitu kekuatan bersabar. Dan wanita yang cerdas mengetahui bagaimana ia harus memelihara dan memanfaatkan kekuatan bersabar itu.
0 komentar:
Posting Komentar