Muslimah dalam Dakwah
“Kalian hendaklah senantiasa mendakwahkan kebenaran dan mencegah kemaksiatan, menghentikan orang-orang zalim dari kezalimannya, dan mengajak mereka kepada kebaikan. Jika tidak, hati kalian akan disatukan dengan hati mereka dan kalian akan dilaknat oleh Allah seperti Allah telah melaknat Bani Israil.” (al-Hadits)
Saudariku, suatu ketika Rasulullah Saw. bersabda kepada Abdullah bin Mas’ud, “Bacakan al-Quran kepadaku.”
Abdullah bin Mas’ud berkata, “Bagaimana aku membacakannya kepada Engkau, sementara al-Quran itu sendiri diturunkan kepadamu?”
“Aku ingin mendengarnya dari orang lain,” jawab beliau. Lalu Ibnu Mas’ud membaca surat an-Nisa hingga firman-Nya, “Maka bagaimanakah (halnya orang kafir nanti), apabila Kami mendatangkan seseorang saksi (rasul) dari tiap-tiap umat dan Kami mendatangkan kamu (Muhammad) sebagai saksi atas mereka itu (sebagai umatmu).” (QS. an-Nisa: 41).
Begitu bacaan tiba pada ayat ini, beliau bersabda, “Cukup.”
Ibnu Mas’ud kemudian menoleh ke arah beliau, dan terlihatlah olehnya bahwa Rasulullah Saw. menangis.
Dalam kisah ini, kita memperoleh pelajaran yang sangat berharga, bahwa Rasulullah Saw. sangat mencintai umat manusia. Beliau sangat mengharapkan agar orang-orang kafir beriman. Karena, balasan kekafiran adalah azab neraka jahanam. Rasulullah pernah melihat surga dan neraka. Beliau melihat, sungguh mengerikan neraka itu dan sungguh indah surga itu. Membayangkan semua itu, membuat hati Rasulullah Saw. bersedih dan airmata berlinangan membasahi pipinya.
Dalam riwayat lain disebutkan, bahwa Rasulullah Saw. pernah mendirikan shalat malam, dengan membaca satu ayat yang diulang-ulang, yang berbunyi, “Jika Engkau menyiksa mereka, maka sesungguhnya mereka adalah hamba-hamba Engkau juga.” (QS. al-Maidah: 118).
Tidak hanya itu, beliau selalu mendoakan umatnya. Sebuah riwayat menyebutkan, bahwa pada saat hari kiamat tiba, beliaulah orang yang pertama kali dibangkitkan. Yang pertama kali diucapkannya adalah, “Mana umatku?, mana umatku?, mana umatku?” Beliau ingin masuk surga bersama umatnya. Beliau kucurkan syafaat kepada umatnya sebagai tanda kecintaan beliau terhadap mereka. Beliau juga sering berdoa, “Allahumma salimna ummati”, ya Allah selamatkanlah umatku.
Serulah manusia ke jalan Allah, agar orang-orang yang lalai segera tersadarkan, dan agar orang-orang yang berada di pinggir jurang neraka terselamatkan dan masuk ke surga. Para penjahat bertobat, pelacur menjadi wanita beriman, mulut mereka melafazkan dzikir, mata mereka bersimbah airmata, hati mereka merasakan ketakutan kepada Allah.
Seandainya orang-orang kafir tidak memusuhi dan memerangi Islam, Rasulullah Saw. tentu tidak akan memerangi mereka. Beliau hanya ingin menyerukan dakwah dengan damai; menyeru manusia ke jalan kebenaran dan kesabaran.
Ketahuilah, bahwa menyeru manusia ke jalan Allah merupakan poros yang paling besar dalam agama dan merupakan tugas yang karenanya Allah mengutus para Nabi. Andaikan tugas ini ditiadakan, maka akan muncul kerusakan di mana-mana dan dunia pun akan binasa. Rasulullah Saw. bersabda, “Hendaklah kalian benar-benar menyuruh kepada yang ma’ruf dan benar-benar mencegah dari yang mungkar, atau benar-benar Allah akan menjadikan orang-orang yang jahat di antara kalian berkuasa atas orang-orang yang baik di antara kalian, lalu doa mereka pun tidak akan dikabulkan.”
Ibnu Abbas Ra. berkata, “Sesungguhnya orang yang mengajarkan kebaikan kepada orang lain, maka setiap hewan melata akan memohonkan ampunan baginya, termasuk pula ikan paus di lautan.”
Berdakwah bagi seorang muslim dan muslimah, tidak hanya menggunakan cara lisan saja, tetapi juga dapat menggunakan cara tulisan dan perbuatan. Seorang muslimah yang berprestasi – tanpa kata-kata – dapat memancarkan aura keteladanan bagi muslim yang lainnya. Karena, seringkali bahasa perbuatan jauh lebih kuat daripada bahasa lisan.
Begitupun jika seorang muslimah tidak memiliki kemampuan yang memadai dalam berbicara ditengah khalayak, dia dapat belajar menggunakan penanya untuk berdakwah, dan efeknya bisa jauh lebih dahsyat daripada dengan lisan. Kelebihan tulisan adalah dakwah kita menjadi dapat terdokumentasi dengan baik.
Wanita muslimah pasti akan menerima informasi kebenaran, memeluk dan memeganginya, kemudian memperjuangkannya, meski harus mengorbankan diri. Prof. Amal Zakariya al-Anshari memformulasikan wanita pendakwah dan penyampai kebenaran di segala waktu dan tempat dalam sebuah artikel yang berjudul “Menjadi Istri Pendakwah: Apa dan Bagaimana?”, sebagai berikut:
1. Sebagai seorang manusia, seorang da’i pasti mengalami masa-masa lelah dan bosan, maka istri harus jeli dan tanggap dengan masalah ini. Jika dilihat suaminya mengalami hal tersebut maka ia harus memompa semangatnya untuk berdakwah, tanpa membuatnya merasa ia sedang menyinggungnya.
Dalam hal ini, istri dapat duduk di samping suaminya, lalu menyebutkan ayat-ayat, hadits-hadits atau kisah-kisah yang dapat memotivasinya untuk lebih maju, sambil menggerakkan kekuatan di dalam dirinya yang mampu meluluhlantakkan setiap kejenuhan.
2. Tidak akan membuat-buat masalah hanya karena hal sepele, sebab ia tahu suaminya membutuhkan kebeningan hati dan ketenangan jiwa, agar bisa kembali bekerja pada bidang dakwah dengan penuh obsesi dan vitalitas. Pertengkaran dan tekanan psikologis akan membunuh tekad kuat di dalam dirinya.
3. Mendukung dan membantunya melaksanakan kebaktian kepada kedua orang tuanya, sebab keduanya merupakan faktor penyebab yang menyokong keberhasilan, kesuksesan, dan kemenangan dalam meraih ridha Allah. Ia juga selalu mengingatkannya untuk menjalin silaturahim dengan mereka, yang sekaligus menjadi panutan bagi orang lain dalam hal ini.
4. Mengatur jadwal suaminya dan mengingatkannya tentang jadwal tersebut.
5. Menerima kekurangan suaminya dalam memenuhi haknya, jika memang dalam kerangka dakwah. Ia juga menghiburnya jika ia melihat suaminya sedang bersedih dan berduka, sehingga suaminya merasa lega dan aman berada di sisinya setiap kali merasa lelah dan penat.
6. Membantu suaminya mengurus masalah-masalah penghidupan selama ia mampu, sebab seorang da’I biasanya sibuk dengan masalah-masalah dakwah, yang merupakan implementasi jihad di jalan Allah.
7. Selalu tampil dengan penuh kelembutan, kesabaran, ketabahan, maaf, dan toleransi.
8. Mendidik anak-anaknya dengan pendidikan yang benar dan membesarkannya dengan ajaran Islam tanpa menyandarkan sepenuhnya pada suaminya. Profesi seorang da’i menuntut suaminya untuk sering bepergian, sehingga ia harus sigap dalam menangani pendidikan dan perawatan anak-anak saat suaminya sibuk dengan urusan dakwah.
9. Selalu memakai busana Islami dan menjauhi tempat-tempat rusak, demi menghindari fitnah beragama dan keterjebakan ke dalam hal-hal syubhat.
10. Sesuatu yang paling menentramkan adalah berada di dada istri yang setia; senyum terindah adalah senyuman jujur istri tercinta; sentuhan terlembut adalah sentuhan halus yang membangkitkan ketenangan jiwa. Hal tersebut akan membuat sang da’i besar kembali seperti anak kecil yang tak berdosa, berkat kualitas keislaman dan pemahaman istrinya terhadap permasalahan yang ada.
Sesungguhnya wanita yang kurang begitu menetapi agamanya senantiasa menyerukan pada hal-hal yang bertentangan dengan Islam meskipun ia tidak berbicara sepatah kata pun dan meskipun tidak melancarkan seruannya ke arah itu. Demikianlah, karena dengan penampilannya tanpa jilbab saja sama halnya dengan seruan terang-terangan untuk membuka jilbab dan dengan berkhalwatnya dia dengan laki-laki lain sudah cukup jelas sama halnya dengan anjuran terang-terangan untuk berkhalwat dengan laki-laki lain dan seterusnya. Terlebih lagi jika dia menambahkan seruan diamnya itu dengan seruan bicaranya kepada teman-teman sekerjanya, teman sepergaulannya, dan para tetangganya, yaitu seruan untuk meninggalkan norma-norma, membebaskan diri dari akhlak terpuji, dan hidup menurut kemauan hawa nafsu, serta menyambut setiap bisikan yang dihembuskan oleh setan.
Oleh karena itu, pantaskah bila seorang muslimah yang menetapi agamanya alpa dari menyeru kepada mereka yang tidak menetapi agamanya, untuk kembali berpegang teguh pada ajaran agamanya?
Saudariku, suatu ketika Rasulullah Saw. bersabda kepada Abdullah bin Mas’ud, “Bacakan al-Quran kepadaku.”
Abdullah bin Mas’ud berkata, “Bagaimana aku membacakannya kepada Engkau, sementara al-Quran itu sendiri diturunkan kepadamu?”
“Aku ingin mendengarnya dari orang lain,” jawab beliau. Lalu Ibnu Mas’ud membaca surat an-Nisa hingga firman-Nya, “Maka bagaimanakah (halnya orang kafir nanti), apabila Kami mendatangkan seseorang saksi (rasul) dari tiap-tiap umat dan Kami mendatangkan kamu (Muhammad) sebagai saksi atas mereka itu (sebagai umatmu).” (QS. an-Nisa: 41).
Begitu bacaan tiba pada ayat ini, beliau bersabda, “Cukup.”
Ibnu Mas’ud kemudian menoleh ke arah beliau, dan terlihatlah olehnya bahwa Rasulullah Saw. menangis.
Dalam kisah ini, kita memperoleh pelajaran yang sangat berharga, bahwa Rasulullah Saw. sangat mencintai umat manusia. Beliau sangat mengharapkan agar orang-orang kafir beriman. Karena, balasan kekafiran adalah azab neraka jahanam. Rasulullah pernah melihat surga dan neraka. Beliau melihat, sungguh mengerikan neraka itu dan sungguh indah surga itu. Membayangkan semua itu, membuat hati Rasulullah Saw. bersedih dan airmata berlinangan membasahi pipinya.
Dalam riwayat lain disebutkan, bahwa Rasulullah Saw. pernah mendirikan shalat malam, dengan membaca satu ayat yang diulang-ulang, yang berbunyi, “Jika Engkau menyiksa mereka, maka sesungguhnya mereka adalah hamba-hamba Engkau juga.” (QS. al-Maidah: 118).
Tidak hanya itu, beliau selalu mendoakan umatnya. Sebuah riwayat menyebutkan, bahwa pada saat hari kiamat tiba, beliaulah orang yang pertama kali dibangkitkan. Yang pertama kali diucapkannya adalah, “Mana umatku?, mana umatku?, mana umatku?” Beliau ingin masuk surga bersama umatnya. Beliau kucurkan syafaat kepada umatnya sebagai tanda kecintaan beliau terhadap mereka. Beliau juga sering berdoa, “Allahumma salimna ummati”, ya Allah selamatkanlah umatku.
Serulah manusia ke jalan Allah, agar orang-orang yang lalai segera tersadarkan, dan agar orang-orang yang berada di pinggir jurang neraka terselamatkan dan masuk ke surga. Para penjahat bertobat, pelacur menjadi wanita beriman, mulut mereka melafazkan dzikir, mata mereka bersimbah airmata, hati mereka merasakan ketakutan kepada Allah.
Seandainya orang-orang kafir tidak memusuhi dan memerangi Islam, Rasulullah Saw. tentu tidak akan memerangi mereka. Beliau hanya ingin menyerukan dakwah dengan damai; menyeru manusia ke jalan kebenaran dan kesabaran.
Ketahuilah, bahwa menyeru manusia ke jalan Allah merupakan poros yang paling besar dalam agama dan merupakan tugas yang karenanya Allah mengutus para Nabi. Andaikan tugas ini ditiadakan, maka akan muncul kerusakan di mana-mana dan dunia pun akan binasa. Rasulullah Saw. bersabda, “Hendaklah kalian benar-benar menyuruh kepada yang ma’ruf dan benar-benar mencegah dari yang mungkar, atau benar-benar Allah akan menjadikan orang-orang yang jahat di antara kalian berkuasa atas orang-orang yang baik di antara kalian, lalu doa mereka pun tidak akan dikabulkan.”
Ibnu Abbas Ra. berkata, “Sesungguhnya orang yang mengajarkan kebaikan kepada orang lain, maka setiap hewan melata akan memohonkan ampunan baginya, termasuk pula ikan paus di lautan.”
Berdakwah bagi seorang muslim dan muslimah, tidak hanya menggunakan cara lisan saja, tetapi juga dapat menggunakan cara tulisan dan perbuatan. Seorang muslimah yang berprestasi – tanpa kata-kata – dapat memancarkan aura keteladanan bagi muslim yang lainnya. Karena, seringkali bahasa perbuatan jauh lebih kuat daripada bahasa lisan.
Begitupun jika seorang muslimah tidak memiliki kemampuan yang memadai dalam berbicara ditengah khalayak, dia dapat belajar menggunakan penanya untuk berdakwah, dan efeknya bisa jauh lebih dahsyat daripada dengan lisan. Kelebihan tulisan adalah dakwah kita menjadi dapat terdokumentasi dengan baik.
Wanita muslimah pasti akan menerima informasi kebenaran, memeluk dan memeganginya, kemudian memperjuangkannya, meski harus mengorbankan diri. Prof. Amal Zakariya al-Anshari memformulasikan wanita pendakwah dan penyampai kebenaran di segala waktu dan tempat dalam sebuah artikel yang berjudul “Menjadi Istri Pendakwah: Apa dan Bagaimana?”, sebagai berikut:
1. Sebagai seorang manusia, seorang da’i pasti mengalami masa-masa lelah dan bosan, maka istri harus jeli dan tanggap dengan masalah ini. Jika dilihat suaminya mengalami hal tersebut maka ia harus memompa semangatnya untuk berdakwah, tanpa membuatnya merasa ia sedang menyinggungnya.
Dalam hal ini, istri dapat duduk di samping suaminya, lalu menyebutkan ayat-ayat, hadits-hadits atau kisah-kisah yang dapat memotivasinya untuk lebih maju, sambil menggerakkan kekuatan di dalam dirinya yang mampu meluluhlantakkan setiap kejenuhan.
2. Tidak akan membuat-buat masalah hanya karena hal sepele, sebab ia tahu suaminya membutuhkan kebeningan hati dan ketenangan jiwa, agar bisa kembali bekerja pada bidang dakwah dengan penuh obsesi dan vitalitas. Pertengkaran dan tekanan psikologis akan membunuh tekad kuat di dalam dirinya.
3. Mendukung dan membantunya melaksanakan kebaktian kepada kedua orang tuanya, sebab keduanya merupakan faktor penyebab yang menyokong keberhasilan, kesuksesan, dan kemenangan dalam meraih ridha Allah. Ia juga selalu mengingatkannya untuk menjalin silaturahim dengan mereka, yang sekaligus menjadi panutan bagi orang lain dalam hal ini.
4. Mengatur jadwal suaminya dan mengingatkannya tentang jadwal tersebut.
5. Menerima kekurangan suaminya dalam memenuhi haknya, jika memang dalam kerangka dakwah. Ia juga menghiburnya jika ia melihat suaminya sedang bersedih dan berduka, sehingga suaminya merasa lega dan aman berada di sisinya setiap kali merasa lelah dan penat.
6. Membantu suaminya mengurus masalah-masalah penghidupan selama ia mampu, sebab seorang da’I biasanya sibuk dengan masalah-masalah dakwah, yang merupakan implementasi jihad di jalan Allah.
7. Selalu tampil dengan penuh kelembutan, kesabaran, ketabahan, maaf, dan toleransi.
8. Mendidik anak-anaknya dengan pendidikan yang benar dan membesarkannya dengan ajaran Islam tanpa menyandarkan sepenuhnya pada suaminya. Profesi seorang da’i menuntut suaminya untuk sering bepergian, sehingga ia harus sigap dalam menangani pendidikan dan perawatan anak-anak saat suaminya sibuk dengan urusan dakwah.
9. Selalu memakai busana Islami dan menjauhi tempat-tempat rusak, demi menghindari fitnah beragama dan keterjebakan ke dalam hal-hal syubhat.
10. Sesuatu yang paling menentramkan adalah berada di dada istri yang setia; senyum terindah adalah senyuman jujur istri tercinta; sentuhan terlembut adalah sentuhan halus yang membangkitkan ketenangan jiwa. Hal tersebut akan membuat sang da’i besar kembali seperti anak kecil yang tak berdosa, berkat kualitas keislaman dan pemahaman istrinya terhadap permasalahan yang ada.
Sesungguhnya wanita yang kurang begitu menetapi agamanya senantiasa menyerukan pada hal-hal yang bertentangan dengan Islam meskipun ia tidak berbicara sepatah kata pun dan meskipun tidak melancarkan seruannya ke arah itu. Demikianlah, karena dengan penampilannya tanpa jilbab saja sama halnya dengan seruan terang-terangan untuk membuka jilbab dan dengan berkhalwatnya dia dengan laki-laki lain sudah cukup jelas sama halnya dengan anjuran terang-terangan untuk berkhalwat dengan laki-laki lain dan seterusnya. Terlebih lagi jika dia menambahkan seruan diamnya itu dengan seruan bicaranya kepada teman-teman sekerjanya, teman sepergaulannya, dan para tetangganya, yaitu seruan untuk meninggalkan norma-norma, membebaskan diri dari akhlak terpuji, dan hidup menurut kemauan hawa nafsu, serta menyambut setiap bisikan yang dihembuskan oleh setan.
Oleh karena itu, pantaskah bila seorang muslimah yang menetapi agamanya alpa dari menyeru kepada mereka yang tidak menetapi agamanya, untuk kembali berpegang teguh pada ajaran agamanya?
Rabu, 29 Desember 2010
0
komentar
~