Doa untuk Sahabat
Sabtu, 01 Januari 2011
Label:
Artikel
~
Seringkali kita dimintai doa oleh sahabat-sahabat kita. Ada yang berharap agar lulus dari ujian, ingin segera mendapatkan jodoh, dapat membina keluarga sakinah, atau yang lainnya.
Kadang doa itu kita panjatkan dan banyak di antaranya malas atau lupa kita melafazkannya. Kita hanya berujar kepada mereka, “Saya hanya bisa mendoakan kamu.” Tetapi kita tidak benar-benar mendoakannya. Kita hanya bisa menyenangkan hatinya dengan kata-kata yang singkat itu.
Tidakkah kita sadari bahwa, orang-orang yang membutuhkan doa dari kita pasti sangat ingin mendapatkan apa yang diinginkannya itu? Namun seringkali kita tidak menindaklanjuti permintaan itu dengan tengadah tangan menghadap Allah. Ketika akhirnya sahabat kita gagal mendapatkan apa yang diinginkannya, kita hanya bisa mengatakan, “Sabar ya, Insya Allah semua ini ada hikmahnya.” Kita mengatakan itu seolah-olah kita telah membantunya secara maksimal.
Saudariku, sesungguhnya dengan cara seperti itu kita belum termasuk orang-orang yang membahagiakan sahabat kita. Atau mungkin kita termasuk orang-orang yang iri dan dengki ketika melihat sahabat kita bahagia dan berhasil?
Duhai, betapa celakanya kita disebabkan oleh kedustaan kita. Mulut kita mengatakan, “Saya akan mendoakanmu.” Namun ucapan itu tidak pernah terealisasi nyata. Bukankah hal itu tidak ada bedanya dengan mulut-mulut para pendusta?
Sahabatku, para ulama salaf mendoakan sahabat-sahabatnya sekalipun tidak diminta. Mereka menyebut satu persatu nama sahabatnya dalam doa-doa panjang mereka. Mereka ingin melihat kebahagiaan sahabatnya di dunia maupun akhirat. Mereka ingin sama-sama masuk surga. Jika mereka melihat sahabatnya bahagia, mereka turut bahagia tanpa ada iri dan dengki di dalamnya. Jika melihat sahabatnya sedih, mereka segera membahagiakannya dan mendoakannya dikeheningan malam dengan linangan airmata, agar Allah memberinya kesabaran dan meringankan beban penderitaannya.
Ketika Allah menurunkan rahmat untuk sahabatnya itu, ia sama sekali tidak mengatakan kesana kemari, “Aku yang mendoakan kamu sehingga kamu begini.” Ia hanya mengatakan, “Alhamdulillah, saya sangat senang melihat engkau kini bahagia.” Ia mengucapkannya dengan setulus hati dan merasakan betapa dekat pertolongan Allah itu.
Kadang doa itu kita panjatkan dan banyak di antaranya malas atau lupa kita melafazkannya. Kita hanya berujar kepada mereka, “Saya hanya bisa mendoakan kamu.” Tetapi kita tidak benar-benar mendoakannya. Kita hanya bisa menyenangkan hatinya dengan kata-kata yang singkat itu.
Tidakkah kita sadari bahwa, orang-orang yang membutuhkan doa dari kita pasti sangat ingin mendapatkan apa yang diinginkannya itu? Namun seringkali kita tidak menindaklanjuti permintaan itu dengan tengadah tangan menghadap Allah. Ketika akhirnya sahabat kita gagal mendapatkan apa yang diinginkannya, kita hanya bisa mengatakan, “Sabar ya, Insya Allah semua ini ada hikmahnya.” Kita mengatakan itu seolah-olah kita telah membantunya secara maksimal.
Saudariku, sesungguhnya dengan cara seperti itu kita belum termasuk orang-orang yang membahagiakan sahabat kita. Atau mungkin kita termasuk orang-orang yang iri dan dengki ketika melihat sahabat kita bahagia dan berhasil?
Duhai, betapa celakanya kita disebabkan oleh kedustaan kita. Mulut kita mengatakan, “Saya akan mendoakanmu.” Namun ucapan itu tidak pernah terealisasi nyata. Bukankah hal itu tidak ada bedanya dengan mulut-mulut para pendusta?
Sahabatku, para ulama salaf mendoakan sahabat-sahabatnya sekalipun tidak diminta. Mereka menyebut satu persatu nama sahabatnya dalam doa-doa panjang mereka. Mereka ingin melihat kebahagiaan sahabatnya di dunia maupun akhirat. Mereka ingin sama-sama masuk surga. Jika mereka melihat sahabatnya bahagia, mereka turut bahagia tanpa ada iri dan dengki di dalamnya. Jika melihat sahabatnya sedih, mereka segera membahagiakannya dan mendoakannya dikeheningan malam dengan linangan airmata, agar Allah memberinya kesabaran dan meringankan beban penderitaannya.
Ketika Allah menurunkan rahmat untuk sahabatnya itu, ia sama sekali tidak mengatakan kesana kemari, “Aku yang mendoakan kamu sehingga kamu begini.” Ia hanya mengatakan, “Alhamdulillah, saya sangat senang melihat engkau kini bahagia.” Ia mengucapkannya dengan setulus hati dan merasakan betapa dekat pertolongan Allah itu.
Saudariku, sudahkah engkau membahagiakan orangtuamu, sahabat-sahabatmu, dan kaum muslimin yang membutuhkan pertolonganmu, walaupun hanya dengan bait-bait doa yang khusyu dikeheningan malam?
0 komentar:
Posting Komentar